Bertepatan dengan tanggal merah, hari ini akhirnya saya dan beberapa teman berkesempatan mengunjungi salah satu teman kami yang baru saja menjadi ibu. Dia melahirkan pada Idul Fitri (versi Muhammadiyah) lalu, tapi kami baru sempat bersilaturahmi sekarang.
Setiap berkunjung ke teman perempuan yang habis melahirkan, saya biasanya akan dapat cerita pengalaman mereka. Bagaimana mereka harus berjibaku dengan rasa sakit yang (katanya) seperti tulang mereka dipatahkan secara bersamaan. Berapa jahitan yang mereka terima. Pengalaman menyusui pertama kali. Sampai gejolak psikologis seperti baby blues yang dialami pasca melahirkan.
Saya turut bahagia atas kebahagiaan mereka menjadi ibu baru. Meski saya belum berkesempatan merasakan apa yang mereka rasakan, saya belajar untuk menghargai setiap pengalaman ketubuhan dan biologis perempuan.
Ketika di media sosial sesama perempuan atau ibu malah melakukan mom shaming, di situ saya merasa sedih.
Ibu pekerja menganggap dirinya lebih tinggi ketimbang ibu rumah tangga karena punya penghasilan sendiri. Ibu rumah tangga melabeli ibu pekerja sebagai ibu yang egois karena lebih memilih mengejar karier ketimbang membersamai tumbuh kembang buah hati.Â
Ibu yang mampu memberikan ASI eksklusif, yang ASI nya lancar, mengolok-olok ibu yang memberikan susu formula. Sampai-sampai karena diberikan susu formula, anaknya dikatai "anak sapi".
Bahkan, perkara melahirkan normal (per vaginam) vs caesar saja bisa jadi ramai. Sebagian ibu dengan teganya menyebut ibu lain yang melahirkan caesar bukan ibu sejati.
Sebenarnya buat apa sih perdebatan semacam itu? Sebagai sesama perempuan, terlebih yang sama-sama sudah jadi ibu, seharusnya paham bahwa setiap perempuan memiliki pengalaman ketubuhan dan reproduksi yang unik.Â
Soal menstruasi, misalnya. Ada perempuan yang kalau menstruasi sakitnya serasa mau semaput (pingsan) sehingga butuh bed rest dan ambil cuti haid. Namun, ada juga yang nyeri haidnya biasa saja sehingga masih bisa beraktivitas normal. Lantas, apakah pantas kita mengatakan hal buruk pada perempuan lain yang kondisi tubuh dan reproduksinya berbeda dengan kita? Bagaimana kalau dia jadi overthinking gara-gara omongan kita yang remnya blong itu?
Ketika seorang perempuan memutuskan untuk jadi ibu, ia sejatinya sudah mengorbankan banyak hal. Ia mengorbankan keindahan tubuhnya, waktu tidur dan bersenang-senangnya, keuangan bahkan nyawanya. Terlepas dari apapun pengalaman biologis yang telah dia lalui dan pola asuh seperti apa yang akan dia terapkan pada anaknya, tidak usah bersikap sok tahu. Sebab, apa yang kita pikirkan dan ekspektasikan belum tentu sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Sebagai sesama perempuan, apapun status kita saat ini, kita hanya perlu menjadi support system yang baik bagi para perempuan atau ibu lainnya. Terutama bagi mereka yang masih ibu pemula. Biarkan mereka belajar mengasah naluri keibuannya dengan cara masing-masing.Â
Oiya, saya juga senang karena sahabat-sahabat perempuan saya punya pasangan yang suportif. Pasangan yang bisa mendukung mereka untuk tetap berdaya. Bukan hanya mengurung mereka di rumah dengan alasan-alasan yang tak jelas. Semoga kelak saya bisa seberuntung mereka.Â
Dan untuk sahabat perempuan saya yang baru jadi ibu, enjoy your moment, sis! You know better what you should do as a mother.Â
18/05/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H