Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apa yang Luput Diperhatikan dari Isu Urbanisasi?

5 Mei 2023   11:48 Diperbarui: 5 Mei 2023   15:52 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi urbanisasi warga pasca lebaran ke kota-kota besar. Sumber: Kompas.com/Garry Andrew Lotulung

Habis Idul Fitri terbitlah urbanisasi. Begitu kira-kira fenomena yang biasa terjadi setelah libur Idul Fitri usai. Para perantau membawa serta saudara, teman atau tetangga ke kota perantauannya. Jadilah, kota-kota besar, terutama DKI Jakarta semakin penuh sesak. 

Mengutip dari situs indonesiabaik.id, Badan Perencanaan dan Pengembangan Nasional (Bappenas) memperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai 321 juta jiwa pada 2045 mendatang. Jumlah ini meningkat dibanding data Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 yang berada di angka 255,1 juta jiwa. 

infografis demografi penduduk dan urbanisasi Indonesia-tangkapan layar dari situs indonesiabaik.id
infografis demografi penduduk dan urbanisasi Indonesia-tangkapan layar dari situs indonesiabaik.id

Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan mendorong tingginya arus urbanisasi. Kota-kota kecil dan sedang akan semakin banyak tumbuh di seluruh Indonesia. Sementara kota-kota besar dan daerah peri urban akan membentuk mega urban. 

Diperkirakan, pada tahun 2035, hampir 90% penduduk Jawa akan tinggal di perkotaan dengan konsentrasi terbesar di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten yang kalau ditotal mencapai 76 juta jiwa. Sementara itu, pada 2045, masyarakat yang tinggal di perkotaan akan mencapai 72,8%. 

ilustrasi urbanisasi ke kota-sumber gambar: Antara/Vitalis Yogi
ilustrasi urbanisasi ke kota-sumber gambar: Antara/Vitalis Yogi

Undang-undang di negara ini memang tidak melarang warga negaranya untuk bekerja dan memperoleh penghasilan dimana saja. Di satu sisi, urbanisasi dapat mempercepat pembangunan wilayah kota, tapi juga bisa menimbulkan masalah di sisi lain seperti kriminalitas, kemacetan, ketersediaan hunian yang layak dan terjangkau, kelestarian lingkungan dan sebagainya. 

Isu perkotaan dan urbanisasi telah lama menjadi concern, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Ia juga masih ada keterkaitan dengan masalah yang terjadi di pedesaan, terutama alih fungsi lahan dan keterbatasan lapangan kerja. 

Kultur Agraris Masyarakat Desa yang "Dipaksa" Berubah 

kultur agraris masyarakat desa yang berprofesi sebagai petani-photo by Quang Nguyen Vinh from pexels
kultur agraris masyarakat desa yang berprofesi sebagai petani-photo by Quang Nguyen Vinh from pexels

Data Kementerian Pertanian menyebut luas lahan yang beralih fungsi pada tahun 2011 mencapai 110 ribu hektar. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2019 hingga mencapai 150 ribu hektar. 

Alih fungsi lahan biasa terjadi untuk keperluan pemukiman, pembangunan jalan tol atau proyek infrastruktur lain, pertambangan dan ekspansi sektor pariwisata. 

Daerah pertanian yang subur sekaligus memiliki potensi wisata alam yang menjanjikan tak jarang dialihfungsikan menjadi objek wisata. Dilengkapi pula dengan fasilitas dan prasarana pendukungnya seperti cafe kekinian dan villa atau resort. 

Jika di sekitar daerah pertanian atau hutan memiliki sumber daya tambang, bisa dipastikan daerah tersebut akan jadi incaran para pebisnis tambang untuk dikeruk tanahnya dan mendirikan pabrik. 

Dalam sekejap, lingkungan yang tadinya menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat menjadi rusak. Kerusakan ini ada kalanya menimbulkan korban jiwa akibat udara atau air yang tercemar limbah beracun atau jatuh ke dalam lubang-lubang galian tambang yang tidak diurus. 

Belum lagi masalah harga bahan pangan yang tidak bersahabat bagi petani. Biaya produksi tinggi tapi harga di pasaran anjlok. Alih-alih melakukan upaya-upaya yang melindungi para petani, pemerintah lebih suka mengandalkan impor. 

Akibat faktor-faktor eksternal inilah petani menjual tanahnya. Masyarakat desa yang hidup dengan kultur agraris mau tidak mau dipaksa untuk berubah menjadi masyarakat industri. 

Padahal kecakapan alami mereka adalah mengolah dan memanfaatkan hasil alam untuk berbagai kebutuhan. 

Karena tak ada lagi lahan untuk dikelola, bekerja sebagai buruh pabrik, menjajal peruntungan di kota besar atau menjadi buruh migran di negeri tetangga kerap menjadi solusi. 

Ketersediaan Lapangan Kerja yang Terbatas 

Di kota-kota besar, terutama DKI Jakarta, pilihan, kesempatan dan ragam pekerjaan lebih luas. Selama seseorang memiliki pendidikan dan keahlian yang memadai serta mental tahan banting, ia bisa bekerja apapun dan jadi apapun di Jakarta. 

Sementara di desa, lapangan kerja lebih terbatas. Kalau tidak jadi petani, buruh tani, peternak atau kalau desanya berada di daerah pesisir, ya jadi nelayan. Pemuda dan pemudi desa yang beruntung bisa mencicipi pendidikan tinggi tentu bakal lebih memilih untuk merantau dan bekerja di kota.

Apalagi jika mereka hendak menekuni bidang tertentu sebagai profesi. Misalnya, bidang industri kreatif. Minat dan kemampuannya akan lebih terpakai dan berkembang jika ia bekerja di kota. 

Beberapa daerah malah belum tersentuh koneksi internet. Padahal koneksi internet yang cepat, stabil dan lancar jaya adalah hal krusial yang diperlukan oleh para pekerja di industri kreatif. 

Definisi "Kota" dan "Bukan Kota" yang Semakin Kabur 

ilustrasi megalopolis seiring dengan definisi kota yang semakin kabur-photo by Laura Tancredi from pexels
ilustrasi megalopolis seiring dengan definisi kota yang semakin kabur-photo by Laura Tancredi from pexels
Pertumbuhan suatu kota tidak hanya dilihat dari pertambahan jumlah penduduknya. Pertumbuhan kota juga akan menyangkut sistem transportasi publik, infrastruktur energi, pasokan air, tata kota dan perekonomian. 

Meski proses urbanisasi kerap dikaitkan dengan kota-kota terbesar di suatu negara, sekarang mulai bermunculan kota-kota lainnya yang tumbuh dengan pesat dan menjadi incaran para perantau. Seiring dengan konsep "kota" dan "bukan kota" yang semakin kabur, para ahli perkotaan sampai memperkenalkan konsep kota megalopolis. 

Wilayah provinsi Guangdong di Cina yang secara efektif telah menggabungkan 11 kota lainnya seperti Makau, Guangzhou, Shenzhen dan Hong Kong, menjadikannya sebagai kota megalopolis terbesar saat ini. 

Kota-kota pesisir pantai barat Afrika, yang membentang sepanjang 600 km antara Abidjan di Pantai Gading dan Lagos di Nigeria juga berkembang pesat. Perkembangan ini diprediksi para ahli akan membentuk megalopolis terpadat di dunia pada tahun 2100 dengan populasi mencapai 500 juta jiwa. 

Berkembangnya kota megalopolis juga turut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Hal ini misalnya terjadi di Chicago dan New York yang tumbuh seiring perkembangan teknologi baja dan lift yang memungkinkan orang-orang untuk membangun gedung-gedung pencakar langit. 

Di Indonesia, kita bisa sedikit berkaca pada hasil riset Litbang Kompas mengenai fenomena pergeseran tujuan migrasi. Hasil riset menunjukkan bahwa kini perantau lebih memilih untuk bermigrasi ke daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

hasil riset Litbang Kompas mengenai pergeseran tujuan migrasi perantau (untuk data tahun 2021)-tangkapan layar dari kompas.id
hasil riset Litbang Kompas mengenai pergeseran tujuan migrasi perantau (untuk data tahun 2021)-tangkapan layar dari kompas.id

Bahkan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta masuk dalam daftar 10 daerah utama tujuan migrasi pada tahun 2021 dengan jumlah migran sebanyak 134.545 orang. Sebagai warga Sleman, saya memang merasakan pembangunan di Sleman memang cukup masif tapi juga semakin padat dan macet. 

Wasana Kata 

Isu perkotaan dan urbanisasi adalah masalah yang sangat kompleks. 

Selain masalah yang mungkin timbul di perkotaan sendiri akibat urbanisasi yang tidak terkendali, hal ini merupakan alarm akan alih fungsi lahan yang kian masif dan terbatasnya lapangan kerja di pedesaan. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut dapat memunculkan masalah yang tidak kalah serius seperti ketahanan pangan, air bersih, menurunnya daya dukung lingkungan dan sebagainya. 

Jika ingin laju urbanisasi ditekan, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah desa harus dilakukan agar tercipta lapangan kerja bagi masyarakat. Dana desa seharusnya bisa dimanfaatkan untuk ini, asalkan dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab, bukan malah dikorupsi. 

Referensi: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun