Puasa sejatinya tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga harus menahan anggota tubuh, hati dan pikiran dari hal-hal yang dapat membuat puasa menjadi sia-sia. Ada banyak dimensi sosial yang dapat ditemukan dari ibadah puasa, seperti keikhlasan dalam beramal saleh, kesabaran dalam mengendalikan amarah, mengasah empati kepada orang-orang miskin dan sebagainya. Dengan demikian, setelah Ramadan berakhir, seharusnya kita bisa menjadi orang yang lebih dekat kepada Tuhan dan peduli sesama.
Sebagaimana Tuhan akan menguji keimanan orang-orang beriman, ibadah puasa yang kita jalankan juga tidak lepas dari ujian. Terlebih di era digital, godaan itu semakin beragam dan menantang.Â
Perkembangan teknologi telah menyajikan lebih banyak pilihan konten digital, baik yang bersifat edukatif maupun hiburan, dari yang bermanfaat sampai tidak bermanfaat kepada kita. Dengan semakin beragamnya pilihan itulah kita dituntut untuk mampu memilih dan memilah, mana yang baik dan buruk.
Di era digital, puasa bisa juga dimaknai dengan kemampuan untuk mengendalikan jari, yang akan sama berbahayanya dengan lisan apabila tidak dijaga. Sebelum ada media sosial, fitnah bisa tersebar dari mulut ke mulut. Setelah ada media sosial, fitnah tersebar dengan jangkauan yang lebih luas dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya hanya dengan menekan tombol share atau bagikan.Â
Jika boleh saya ringkas, puasa seharusnya juga bisa menjadi kontrol atas tiga hal berikut di dunia maya.Â
Pertama, menahan jari untuk tidak berkomentar, membagikan, menyukai, mengikuti dan mengonsumsi konten-konten media sosial yang negatif.Â
Mungkin pembaca sekalian ada yang resah dan bertanya-tanya, mengapa konten tidak berfaedah justru lebih banyak penontonnya ketimbang konten yang berfaedah? Mengapa kanal YouTube milik youtuber, influencer, pembuat konten atau apapun kita menyebutnya--yang suka menjual sensasi punya lebih banyak pengikut dibandingkan yang menyajikan tontonan berkualitas?Â
Pakai saja logika hukum permintaan-penawaran. Selama konten-konten tidak berfaedah masih laku, berarti masih banyak warganet yang seleranya semenyedihkan itu. Karena merasa mendapat banyak dukungan, pembuat konten yang bersangkutan akan terus memproduksi konten-konten sampah.Â
Di era digital, kebaikan maupun keburukan itu mudah tersebar dan jadi tren. Demi mencegah kerusakan yang lebih besar, alangkah baiknya jika di bulan Ramadan ini kita melatih jari kita untuk tidak turut menjadi agen yang melanggengkan dan mempromosikan berita bohong, ujaran kebencian, komentar negatif, pelecehan dan kekerasan di dunia maya serta unggahan-unggahan tidak bermutu lainnya.Â
Kedua, menahan jari untuk tidak flexing (pamer) dan humble bragging (merendah untuk meninggi)
Sifat dunia maya yang cair kadang membuat sesuatu menjadi kabur sehingga tidak jelas antara yang benar dan salah; baik dan buruk; fakta dan opini; fakta dan fitnah; personal branding dan pamer; humble betulan dan humble bragging.Â
Konten-konten flexing dan humble bragging seringkali memancing cibiran dan rasa dengki warganet. Namun anehnya, konten-konten seperti ini banyak juga yang suka.Â
Kontrol atas hal-hal tersebut ada pada diri kita. Kita sendiri yang harus peka apakah sesuatu yang mau kita unggah itu baik, benar dan bermanfaat atau sebaliknya.Â
Ketiga, menjaga pikiran dan hati untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain
Medsos dengan beragam konten, warganet dan huru-haranya, kadang bisa membuat kita tidak suka pada seseorang hanya karena unggahan atau aktivitasnya di medsos.Â
Kita tidak kenal, tidak pernah berinteraksi atau dekat di dunia nyata dengan orang tersebut, tapi kita merasa benci oleh sesuatu yang tidak jelas sebabnya. Dan semua itu cuma gara-gara satu dua unggahan yang bisa jadi kita salah paham dalam menafsirkan maksud serta tujuan orang tersebut.Â
Ada orang mengunggah foto-foto liburan, nongkrong di kedai kopi kekinian, wisuda, pencapaian karir, pernikahan, dianggap lagi pamer. Padahal kita tidak tahu kalau di balik foto-foto tersebut bisa jadi ada perjuangan menyelesaikan skripsi yang berdarah-darah; kerja keras sampai lembur bagai kuda dan kerja sampingan di mana-mana; melalui patah hati berkali-kali dan ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya; sudah lebih dulu menyisihkan gaji untuk orangtua di kampung, zakat, infaq dan sedekah.Â
Kita tidak bisa menilai niat dalam hati orang yang mengunggah. Namun, kita bisa kan, menjaga hati dan pikiran kita untuk tidak mudah berprasangka buruk pada orang itu?
Â
Semoga bermanfaat.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi teman-teman muslim sekalian.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI