Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh tokoh feminis muslim Indonesia, Lies Marcoes di kompas.id (8/3/2023) yang berjudul Memperkuat Perempuan di Ruang Privat. Menurut perempuan yang kini menjadi visiting fellow pada KITLV Universitas Leiden, Belanda itu, ada hal-hal yang membuat perubahan untuk nasib perempuan di ruang privat menjadi sulit. Kesulitan itu bisa muncul akibat faktor kultural dan penafsiran atas doktrin agama yang tidak kontekstual sehingga turut memperkuat dan melanggengkan norma gender tradisional.Â
Norma gender tradisional menetapkan batasan yang kaku antara ruang privat dan publik, di mana ruang privat adalah urusan perempuan dan ruang publik adalah urusan laki-laki.Â
Tanggung jawab perempuan atas ruang privat bisa membuat seorang anak perempuan terhalang untuk mendapatkan pendidikan yang baik.Â
Ketika Covid-19 misalnya, studi kuantitatif di sejumlah daerah menunjukkan bahwa anak perempuan lebih rentan berhenti sekolah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orangtua laki-laki (ayah) yang kehilangan pekerjaan, istri atau ibu harus bekerja (melakoni pekerjaan informal) sehingga pengurusan keluarga diserahkan kepada anak perempuan.Â
Kondisi lainnya yang menghalangi anak perempuan untuk bersekolah adalah perkawinan anak.Â
Undang-undang pernikahan terbaru mensyaratkan bagi perempuan yang akan menikah sekurang-kurangnya berusia 19 tahun dan laki-laki 21 tahun. Namun, bagi beberapa orangtua--yang entah karena takut anaknya pacaran kebablasan atau alasan tradisi--tetap menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Meminta dispensasi pun ditempuh dan institusi yang berwenang seringkali lebih tunduk pada keputusan keluarga tersebut ketimbang undang-undang yang sah.Â
Norma gender tradisional juga seringkali menghalangi perempuan untuk bekerja.Â
Di masyarakat kita, seorang laki-laki (meski pengangguran) tetap diposisikan sebagai kepala keluarga (KK) dan pencari nafkah utama. Sementara perempuan yang bekerja, posisinya dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan.Â
Padahal kenyataan menunjukkan bahwa di beberapa keluarga yang terjadi adalah sebaliknya. Setidaknya saya menyaksikan hal tersebut ada dalam keluarga besar saya. Sayangnya, eksistensi dan peran perempuan KK masih dianggap tidak lazim dan diabaikan.Â
Saya tidak habis pikir mengapa sesukses apapun karier, pencapaian atau kontribusi perempuan di ruang publik, ia masih saja dituntut atas tanggung jawabnya di ruang privat. Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang mengurus anak kalau ibunya sibuk kerja selalu dialamatkan kepada perempuan. 'Bikin'nya berdua kok yang harus mengurus cuma ibunya?Â
Hal inilah yang kerap membuat perempuan terpaksa menyerah pada pekerjaan, mimpi bahkan hobinya. Entah ia merasa tidak lagi punya waktu untuk dirinya sendiri atau takut dicap egois dan tidak bertanggung jawab.Â
Urusan Privat yang Perlu DiintervensiÂ
Negara, sebetulnya memang tidak perlu masuk terlalu dalam mengurusi urusan privat warga negaranya, selama tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, perubahan untuk nasib perempuan di ruang privat, siapapun harus terlibat di dalamnya.Â
Ketidakberdayaan perempuan di ruang privat, dampaknya besar dan tidak hanya terbatas pada ruang privat.Â
Bayangkan jika perempuan tidak mendapat akses pendidikan yang baik lalu dinikahkan di bawah umur. Bisakah ia menjadi perempuan yang berdaya di rumah tangganya? Bisakah ia berfungsi sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya? Peradaban atau generasi macam apa yang akan hadir di kemudian hari jika perempuan tidak memperoleh hak dasarnya atas pendidikan, kesehatan atau pekerjaan yang layak?Â
KDRT itu juga ranah privat. Namun, butuh diintervensi karena itu merupakan tindakan yang merendahkan harga diri dan martabat kemanusiaan. Pelaku KDRT sejatinya sudah merampas hak orang lain untuk mendapatkan rasa aman dari tindakan yang membahayakan atau mengancam keselamatan dirinya.Â
Aman dan Berdaya di Ruang Privat Maupun PublikÂ
Seiring dengan perkembangan zaman, ruang publik dan privat seharusnya menjadi sesuatu yang cair. Keduanya bisa saja bertukar atau dijalankan secara bergantian oleh perempuan dan laki-laki, tergantung situasi, kondisi dan kebutuhan masing-masing pihak.Â
Ada laki-laki KK, ada juga perempuan KK. Ada keluarga yang pencari nafkah utamanya adalah laki-laki dan perempuan yang mengurus rumah tangga. Sementara di keluarga lain, berlaku sebaliknya. Mana saja yang terjadi, bukanlah sesuatu yang aneh atau mesti dipandang negatif.Â
Setiap orang atau keluarga punya kondisi dan kebutuhan yang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan kehidupan yang kita jalani pada mereka.Â
Sebagaimana yang tertulis dalam artikel yang saya baca tadi pagi itu, jika perubahan di ruang publik mengandalkan regulasi, perubahan di ruang privat mengandalkan kerja budaya. Tinggal bagaimana kita 'mengintervensi' urusan privat itu dengan cara apapun yang bisa kita lakukan untuk menciptakan ruang privat dan publik yang aman dan memberdayakan.Â
Selamat Hari Perempuan Internasional 2023. Selamat beristirahat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H