Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perjokian Ilmiah dalam Kacamata Hukum dan Rumitnya Beban Kerja Dosen

22 Februari 2023   12:00 Diperbarui: 23 Februari 2023   13:27 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo by fox from pexels

Bagi mahasiswa atau civitas akademika, kegiatan menulis karya ilmiah adalah hal yang lazim. Namun, karena satu dua atau beberapa alasan untuk tidak mengerjakan sendiri, menggunakan jasa joki ilmiah menjadi solusi. 

Apapun bentuknya, jasa joki atau yang dikenal secara global sebagai "contract cheating", diperkenalkan dalam studi tahun 2006 oleh peneliti Inggris, Thomas Lancaster dan Robert Clarke. Menurut mereka, contract cheating adalah ketika pelajar menyewa pihak ketiga untuk mengerjakan tugas akademik mereka. Layanan yang disediakan meliputi riset, menulis, atau bahkan jasa teknis seperti membuat perangkat lunak  dan bekerja sesuai permintaan pelajar yang membayar. 

Di Indonesia, data terkait penggunaan dan ketergantungan mahasiswa terhadap jasa joki masih sangat terbatas. Namun, secara global, hal itu dapat kita ketahui dari hasil riset Swansea University tahun 2018 yang mengungkapkan bahwa sekitar 15% mahasiswa di seluruh dunia pernah menyewa seseorang untuk menyelesaikan setidaknya salah satu tugas mereka. 

Jasa joki ilmiah ternyata tidak melulu dimanfaatkan oleh mahasiswa. Investigasi Harian Kompas (10/2/2023) mengungkapkan perjokian di dunia akademik ternyata juga dapat melibatkan petinggi kampus, calon guru besar, dosen hingga mahasiswa kampus negeri maupun swasta. 

Modus perjokian yang lazim dilakukan adalah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi. Nantinya, nama-nama dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat akan dicantumkan dalam daftar penulis di karya ilmiah. 

Meski dosen-dosen senior tersebut tidak berkontribusi aktif, kegiatan ini berguna dalam mendongkrak angka kredit mereka dan meningkatkan akreditasi kampus. Bagi dosen-dosen yang naik pangkat apalagi menjadi guru besar, ini berarti kenaikan pendapatan dan tunjangan. 

Tidak hanya menggunakan sumber daya internal kampus, dosen dan calon guru besar juga menggunakan jasa joki dari luar. Temuan investigasi mengungkap banyak dosen dan calon guru besar dari universitas negeri maupun swasta tertipu calo jurnal berinisial MR yang merupakan chief editor Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI). BIRCI sendiri ternyata diketahui sebagai jasa pengelola jurnal ilmiah internasional abal-abal yang berkantor di pinggiran Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Ketentuan atau perintah untuk membentuk tim percepatan guru besar sebenarnya tidak ada dalam peraturan Kemendikbudristek. Menurut Direktur Sumber Daya Kemendibudristek, Mohammad Sofwan Effendi, pembentukan tim percepatan itu seharusnya untuk membantu bimbingan dan metodologi, bukan untuk membuatkan karya ilmiah.

Perjokian Ilmiah dalam Kacamata Hukum

Mengutip dari The Conversation, perjokian ilmiah dalam hukum Indonesia masih abu-abu. 

Menurut pengamat hukum, menggunakan jasa joki ilmiah kemudian mengakuinya sebagai karya sendiri bisa dianggap telah melakukan pelanggaran atas kekayaan intelektual. Konsepnya dianggap mirip-mirip plagiarisme. 

Padahal konsep plagiarisme dan perjokian ilmiah berbeda. Dalam perjokian ilmiah ada hubungan transaksional. Joki mendapat imbalan berupa uang sedangkan pengguna jasa tidak perlu susah payah membuat karya ilmiah. 

Jadi, kalau mau dikatakan sebagai pelanggaran hak cipta, memang siapa yang dirugikan? Seandainya diterapkan hukuman, siapa yang seharusnya dijerat hukum, penyedia layanan (joki), pengguna jasa yang membayar atau keduanya? 

Jangankan di Indonesia, di negara-negara Persemakmuran pun praktik-praktik serupa perjokian masih saja ada meski sudah punya aturan hukum yang melarangnya. Australia misalnya, telah menerbitkan regulasi semacam ini pada 2020. Namun, hingga 2022 hanya ada satu penetapan pengadilan (injunction) yang dilayangkan kepada "pabrik esai" yang berada di luar negeri.

Rumitnya Masalah Struktural dalam Beban Kerja Dosen

Laporan Kilas Kebijakan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) tertanggal 20 April 2022 menyebut ada empat masalah struktural pada beban kerja dosen, yaitu permasalahan pendanaan riset, praktik kerja dosen yang dibebankan pada aspek pengajaran, pola kebijakan sumber daya yang rumit di tingkat perguruan tinggi dan kebijakan beban kerja dosen yang tidak sensitif dengan adanya relasi kuasa di lapangan.

Masalah perjokian ilmiah di kampus sebenarnya tidak hanya masalah etika dan moral tapi juga berkaitan dengan rumitnya masalah struktural atau birokrasi kampus sebagaimana telah disebut, terutama mengenai pola kebijakan sumber daya. 

Pengelolaan sumber daya perguruan tinggi yang sentralistik (diatur oleh negara) menyebabkan proses kenaikan pangkat terlalu bergantung pada syarat-syarat administratif dibandingkan luaran atau dampak yang dihasilkan dari kinerja dosen.

Contohnya, pengajuan kenaikan pangkat seorang dosen dinilai dari dokumen seperti ijazah, sertifikat mengikuti konferensi bahkan latar belakang profesi orangtua. Pengisian berkas dalam jumlah banyak ini dilakukan ke beberapa platform berbeda sehingga menambah beban kerja administrasi para kepala program studi (kaprodi) dan dosen-dosen junior.

Jika dosen atau calon guru besar ingin naik pangkat menjadi guru besar, syarat administratif yang harus dipenuhi salah satunya adalah mempublikasikan karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi tinggi yang terindeks di dalam Scopus. Nah, syarat-syarat jurnal internasional bereputasi tinggi ini masih ada lagi ketentuannya. 

Bayangkan, dosen atau calon guru besar yang sudah dibebani tugas mengajar, masih ditambah dengan beban kerja administrasi seabrek, penelitian, menulis karya ilmiah dan mempublikasikannya ke jurnal internasional. Bagaimana mereka bisa maksimal dan fokus pada kerja-kerja intelektual kalau waktu, pikiran dan tenaga sudah banyak tersita untuk mengerjakan kewajiban administrasi? 

Dibutuhkan Evaluasi pada Perguruan Tinggi

Sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi, perjokian ilmiah telah meracuni dan merusak ekosistem akademik di perguruan tinggi. Tanpa perlu bergantung pada ada tidaknya aturan hukum, perjokian ilmiah adalah tindakan yang tidak beradab, terlebih jika dilakukan oleh pendidik dan intelektual bergelar mentereng. Padahal semakin tinggi gelar akademik seseorang, tanggung jawab intelektual dan moralnya semakin besar. 

Dalam beberapa hal, orang-orang yang memanfaatkan jasa joki ilmiah tidak selalu karena merasa tidak percaya diri dengan kemampuan menulis karya ilmiah. Ada yang merasa tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk mengerjakannya karena sudah terlalu lelah dengan tuntutan dan beban pekerjaan. 

Jika beban kerja administrasi dianggap sebagai salah satu alasan dosen atau calon guru besar memanfaatkan perjokian ilmiah, mungkin bisa dibuat lebih efisien sehingga mereka bisa fokus pada tugas utamanya: pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun