Sementara laki-laki, sesibuk apapun mereka, sehebat apapun prestasinya, tidak pernah dikejar dengan pertanyaan tentang tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah. Sebab, dalam pandangan mengenai peran gender tradisional, pengasuhan anak ada di tangan ibu.
Dalam wawancara kerja misalnya, calon karyawan perempuan yang sudah menikah seringkali akan ditanya sudah punya anak atau belum. Kalau si calon karyawan mengatakan "sudah", pertanyaan bisa berlanjut ke jumlah anak dan siapa yang bakal mengurus anak kalau dia bekerja. Padahal urusan pengasuhan anak adalah urusan orangtua yang bersangkutan.Â
Bukankah ketika perempuan atau ibu memutuskan untuk bekerja, dia sudah memikirkan berbagai konsekuensinya? Dan percayalah bahwa itu tidak pernah mudah bagi perempuan.Â
Perempuan yang berkarier di dunia politik, terlebih jika ia seorang pemimpin, selalu dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya memang layak menjadi pemimpin. Soal membuktikan kelayakan sebagai pemimpin, okelah Anda bisa bilang bahwa pemimpin laki-laki juga dituntut hal serupa.Â
Namun, pemimpin perempuan masih saja diungkit-ungkit soal peran domestik, penampilan dan hal-hal tidak penting lain yang tidak ada hubungannya dengan kepemimpinannya. Salah satu pincang, para haters dan tukang kritik akan menyerangnya dengan menggunakan pandangan patriarkis, misoginis dan seksis.Â
Mau bilang kalau itu sudah risiko pekerjaan?Â
Saya pikir risiko seperti itu tidak seharusnya ada dalam dunia politik yang kompetitif dan profesional tapi tetap beradab.Â
Pada akhirnya, kepemimpinan perempuan jadi serba salah.Â
Ketika pemimpin perempuan bersikap tegas, vokal dan berani, ia akan dicap galak, baperan dan kebablasan. Dianggap tidak ladylike dan terlalu maskulin. Namun, ketika pemimpin perempuan bersikap lemah lembut, sabar dan empatik, ia akan dicap lembek dan tidak kompeten.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H