Selain kasak-kusuk soal nama-nama yang bakal diusung sebagai capres dan cawapres pada Pemilu 2024 mendatang, sosok-sosok politisi perempuan juga tak kalah menarik untuk dicermati.
Berbagai aturan telah dibuat untuk mengakomodasi keterlibatan perempuan dalam dunia politik atau yang disebut sebagai kebijakan afirmatif (affirmative action).Â
Kebijakan afirmatif terhadap perempuan dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Berdasarkan undang-undang tersebut, representasi perempuan dalam politik ditentukan sekurang-kurangnya 30%. Ini berlaku di hampir semua sektor politik, baik itu di lembaga legislatif, penyelenggara pemilu maupun partai politik.
Ketentuan yang lebih maju lagi dalam kebijakan afirmatif adalah zipper system yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (2). Menurut undang-undang tersebut, sistem ini menentukan bahwa setiap tiga bakal calon yang diajukan, terdapat sekurang-kurangnya 1 perempuan.
Selain sebagai perwujudan penerapan demokrasi, kebijakan afirmatif sekaligus memberi ruang partisipasi pada politisi perempuan untuk dapat menyuarakan masalah-masalah ketidaksetaraan dan membuat kebijakan yang lebih inklusif serta berperspektif gender.
Rencana aksi global yang disepakati oleh pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Indonesia, terkait pembangunan berkelanjutan (SDG) menjadikan pengarusutamaan gender sebagai salah satu dari tujuan dan capaian. Itu sebabnya, kebijakan-kebijakan publik yang berkeadilan gender diperlukan untuk mendukung rencana tersebut.
Kendati undang-undang telah mengakomodasi keterwakilan perempuan, suara dan kontribusi mereka yang diharapkan bakal memberikan perubahan ternyata masih dipertanyakan. Apakah mereka mampu menjadi agen perubahan itu atau partisipasi mereka sejatinya semu belaka?
Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Politik
Kuota bagi perempuan dalam dunia politik memang tersedia. Namun, perempuan yang berpolitik kerap menghadapi tantangan berupa tindak kekerasan, pelecehan, seksisme dan diskriminasi.
UN Women dan UNDP mendefinisikan kekerasan politik terhadap perempuan sebagai setiap tindakan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang menghalangi perempuan untuk menjalankan dan mewujudkan hak politiknya dan berbagai hak asasi manusia, baik di ruang publik maupun privat. Hak-hak ini mencakup hak untuk memilih dan memegang jabatan politik, memilih secara rahasia, kebebasan untuk berkampanye, berserikat, berkumpul, berpendapat dan berekspresi.