Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Jalan Terjal Perempuan di Ranah Politik yang Penuh Kekerasan

11 Februari 2023   04:30 Diperbarui: 12 Februari 2023   05:15 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perempuan dalam politik (Matej Kastelic/Shutterstock.com)

Selain kasak-kusuk soal nama-nama yang bakal diusung sebagai capres dan cawapres pada Pemilu 2024 mendatang, sosok-sosok politisi perempuan juga tak kalah menarik untuk dicermati.

Berbagai aturan telah dibuat untuk mengakomodasi keterlibatan perempuan dalam dunia politik atau yang disebut sebagai kebijakan afirmatif (affirmative action). 

Kebijakan afirmatif terhadap perempuan dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Berdasarkan undang-undang tersebut, representasi perempuan dalam politik ditentukan sekurang-kurangnya 30%. Ini berlaku di hampir semua sektor politik, baik itu di lembaga legislatif, penyelenggara pemilu maupun partai politik.

Ketentuan yang lebih maju lagi dalam kebijakan afirmatif adalah zipper system yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (2). Menurut undang-undang tersebut, sistem ini menentukan bahwa setiap tiga bakal calon yang diajukan, terdapat sekurang-kurangnya 1 perempuan.

Selain sebagai perwujudan penerapan demokrasi, kebijakan afirmatif sekaligus memberi ruang partisipasi pada politisi perempuan untuk dapat menyuarakan masalah-masalah ketidaksetaraan dan membuat kebijakan yang lebih inklusif serta berperspektif gender.

Rencana aksi global yang disepakati oleh pemimpin-pemimpin dunia, termasuk Indonesia, terkait pembangunan berkelanjutan (SDG) menjadikan pengarusutamaan gender sebagai salah satu dari tujuan dan capaian. Itu sebabnya, kebijakan-kebijakan publik yang berkeadilan gender diperlukan untuk mendukung rencana tersebut.

Kendati undang-undang telah mengakomodasi keterwakilan perempuan, suara dan kontribusi mereka yang diharapkan bakal memberikan perubahan ternyata masih dipertanyakan. Apakah mereka mampu menjadi agen perubahan itu atau partisipasi mereka sejatinya semu belaka?

Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Politik

Kuota bagi perempuan dalam dunia politik memang tersedia. Namun, perempuan yang berpolitik kerap menghadapi tantangan berupa tindak kekerasan, pelecehan, seksisme dan diskriminasi.

UN Women dan UNDP mendefinisikan kekerasan politik terhadap perempuan sebagai setiap tindakan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang menghalangi perempuan untuk menjalankan dan mewujudkan hak politiknya dan berbagai hak asasi manusia, baik di ruang publik maupun privat. Hak-hak ini mencakup hak untuk memilih dan memegang jabatan politik, memilih secara rahasia, kebebasan untuk berkampanye, berserikat, berkumpul, berpendapat dan berekspresi.

ilustrasi politik-photo by element5 digital from pexels
ilustrasi politik-photo by element5 digital from pexels

Kekerasan politik terhadap perempuan tidak hanya menyasar mereka yang mencalonkan diri untuk duduk di kursi-kursi pemerintahan, tapi juga pengurus partai, keluarga, aktivis dan awak media yang vokal dalam menyuarakan isu-isu perempuan. 

Tindak kekerasan pun tidak hanya datang dari lawan politiknya. Kekerasan juga bisa dilakukan oleh warganet, teman politisi, konstituen, para pemilih bahkan anggota keluarga yang berbeda pilihan politik dengan politisi perempuan tersebut.

Kekerasan politik terhadap perempuan bukan hanya menjadi masalah di Indonesia, melainkan global, di mana kasusnya mengalami peningkatan di sebagian besar negara di dunia.

Hasil survei Inter-Parliamentary Union (IPU) pada 2016 yang dilansir oleh Indonesia Election Portal menunjukkan bahwa di seluruh dunia, sebanyak 81,8% perempuan anggota parlemen yang menjadi responden dalam penelitian ini pernah mengalami intimidasi psikologis. Bentuk intimidasi tersebut misalnya, kehadiran mereka dianggap tidak penting, pendapat mereka tidak dianggap serius dan tidak diberikan kesempatan bicara yang sama dengan anggota parlemen laki-laki.

Senator Filipina, Leila de Lima disebut sebagai perempuan tidak bermoral dan pezina lantaran mengkritik kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte.

Dua desa di Masisi, Kongo diserang kelompok militan Nduma Defense of Congo (Renove) dan Alliance of Patriots for a Free and Sovereign Congo (APCLS) dengan tuduhan warga desa memilih calon yang salah. Dikabarkan juga ada dua perempuan mengalami pemerkosaan saat penyerangan terjadi.

Kritik terhadap penguasa juga bisa membuat politisi perempuan kehilangan jabatan bahkan nyawa.

Hanya karena mengkritik wali kota, seorang anggota dewan lokal Bolivia, Juana Quispe didesak mundur oleh wali kota, pendukung wali kota dan banyak anggota dewan lokal. Juana dilarang menghadiri rapat dewan, diskors dan tidak digaji. Sebulan kemudian, ia ditemukan meninggal akibat dibunuh.

Data Komnas Perempuan 2018 yang dikutip oleh Magdalene menunjukkan bentuk kekerasan politik terhadap perempuan yang paling dominan adalah pembunuhan karakter melalui penyerangan bernuansa seksual di medsos. Hal ini pernah menimpa Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie pada September 2018, di mana foto-fotonya disunting sedemikian rupa hingga mengarah pada pornografi.

Pada Desember 2018, Komnas Perempuan kembali mendapat aduan dari seorang perempuan anggota tim sukses kampanye Pilgub DKI Jakarta yang nomornya disebar di tiga aplikasi daring serta foto yang ditandai sebagai "BO" (booking order), suatu istilah yang biasa dikenal dalam dunia prostitusi.

Paradoks Eksistensi Perempuan di Ranah Politik

Penambahan kuota perempuan dalam institusi pemerintahan akan percuma kalau tidak diimbangi dengan pemenuhan hak atas ruang aman bagi mereka untuk bekerja.

Keterlibatan perempuan dalam dunia politik kerap terbentur budaya patriarki, misoginisme dan seksisme.

Perempuan yang aktif berpolitik dianggap menelantarkan keluarga karena lebih peduli pada karier politiknya.

Kalau ia sosok perempuan yang berani dan kritis, pendapatnya disepelekan seolah ia tidak cukup kompeten untuk berpendapat demikian. Dianggap kebablasan dan terlalu emosional sedangkan argumennya punya landasan data dan fakta yang valid.

Belum lagi kalau harus berhadapan dengan politisi laki-laki yang patriarkis dan konservatif. Kebijakan sebagus apapun pasti akan dibenturkan dengan isu moralitas dan agama dengan maksud untuk membungkam suara mereka.

Dengan kondisi dunia politik yang tidak ramah pada perempuan, bagaimana mereka bisa bekerja secara profesional dan maksimal?

Kita berharap ada sosok Srikandi politik yang berintegritas, kritis, peka dan progresif terhadap isu-isu kesetaraan, tapi di sisi lain, beberapa politisi perempuan seolah hanya menjadi "pemanis" untuk mendulang suara. Terlebih para caleg perempuan yang berasal dari dunia hiburan.

Berbeda dengan capres-cawapres yang pilihannya hanya 2 paslon, dari sekian nama dan foto caleg yang terpampang di surat suara, tidak semua kita tahu profil dan rekam jejaknya. Berhubung yang dikenal cuma si artis, akhirnya suara diberikan untuk si artis agar bisa lolos ke Senayan.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah tidak semua politisi perempuan punya pemahaman yang baik tentang pengarusutamaan gender dalam kebijakan publik.

Kekerasan Politik terhadap Perempuan dan Maskulinitas yang Rapuh

Ranah politik itu sebetulnya tidak berjenis kelamin dan tidak bergender. Namun, selama ini terlanjur diyakini sebagai arena laki-laki atau ranah yang maskulin sehingga perempuan sebaiknya disingkirkan dari ranah tersebut.

Kekerasan terhadap perempuan di ranah politik justru menunjukkan maskulinitas yang rapuh, lemah dan pengecut. 

Kehadiran politisi perempuan yang vokal dan berani adalah ancaman bagi kemapanan sistem dan budaya yang selama ini meninabobokan laki-laki patriarkis. Itulah kenapa mereka menggunakan kekerasan dalam berbagai bentuk untuk membungkam suara politik perempuan.

Suara mereka dalam perpolitikan tanah air justru menjadi tanda bahwa perempuan juga mampu dan bisa berkontribusi bagi masyarakat. 

Pertanyaannya, bisakah kita memberi mereka kesempatan dan ruang aman agar mereka dapat bekerja secara profesional dan maksimal? Maukah kita mendukung dan bekerja sama dengan mereka demi terciptanya kebijakan publik yang lebih inklusif dan berperspektif gender?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun