Sayangnya, pemberitaan isu lingkungan dan krisis iklim di Indonesia kerap terbentur oleh sejumlah hambatan yang sifatnya struktural dan sistemik, seperti kurangnya pengetahuan jurnalis tentang isu lingkungan dan krisis iklim, biaya peliputan yang mahal, model bisnis yang digunakan oleh media hingga tersandera kepentingan pengiklan dan investor.Â
Jangankan menulis artikel investigasi atau analisis lingkungan yang mendalam, kritis dan utuh, menulis yang singkat saja sulit karena kurangnya pengetahuan terkait isu tersebut.
Alih-alih mengulas dan mengaitkan  dengan masalah krisis iklim, deforestasi atau hal lain yang lebih kompleks dan mendalam, liputan bencana banjir seringkali hanya berkutat pada deskripsi peristiwa dan opini pejabat publik serta tanggapan masyarakat.Â
Akhirnya, publik lagi-lagi hanya tahu kalau banjir di suatu daerah terjadi karena cuaca ekstrem, hujan berhari-hari atau sungai meluap.
Mengutip dari Remotivi, contoh pembingkaian isu lingkungan yang baik dapat kita temukan di beberapa media internasional.Â
Al-Jazeera membingkai perubahan iklim sebagai peristiwa yang lebih berbahaya dari konflik karena menyebabkan banyak penduduk tersingkir dari tempat tinggalnya.Â
The Guardian mengubah penyebutan "perubahan iklim" (climate change) menjadi "darurat iklim/krisis iklim/gangguan iklim" (climate emergency/climate crisis/climate breakdown) dan "global warming" menjadi "global heating" dalam semua artikelnya karena dirasa lebih akurat dalam menggambarkan situasi yang sedang terjadi.Â
Media Brazil tidak memberi tempat bagi pandangan pihak-pihak yang masih mempertanyakan kebenaran krisis iklim. Pandangan ilmuwan, organisasi lingkungan dan PBB adalah sumber-sumber utama dalam pemberitaan mereka. Hasilnya, kesadaran publik tentang krisis iklim meningkat drastis.
3. Kesenjangan Akses Informasi dan Pengetahuan
Isu lingkungan dan krisis iklim di Indonesia merupakan unpopular issue yang pemberitaannya dianggap tidak menjual sehingga mudah dan cepat tenggelam oleh pemberitaan lain. Popularitasnya kalah dengan isu-isu politik (apalagi di tahun-tahun jelang pesta demokrasi lima tahunan), hukum dan ekonomi.
Kondisi geografis, sosial, budaya dan ekonomi yang beragam juga mempengaruhi akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan mengenai isu lingkungan dan krisis iklim.
Masyarakat yang berpendidikan, kelas menengah ke atas atau kaum milenial dan gen Z urban lebih mungkin memiliki kemudahan akses, baik itu lewat pendidikan formal, bergabung dengan komunitas atau mengonsumsi informasi dan terlibat aktivisme digital di media sosial.Â