Baru-baru ini muncul wacana untuk kembali menggunakan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 mendatang. Wacana tersebut tentu memancing perdebatan, baik di kalangan politisi, pakar maupun masyarakat.Â
Polemik ini berawal dari permohonan uji materi atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh sejumlah pihak.
Dalam surat permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 14 November 2022 lalu, para pemohon menilai bahwa pemilu dengan sistem proporsional terbuka menimbulkan polarisasi yang mengoyak rasa persatuan dan kesatuan di masyarakat.Â
Lebih jauh lagi, para pemohon yang menyebut dirinya sebagai "kader partai politik" mengatakan sistem proporsional terbuka membuat hak mereka dilanggar.Â
Mereka menyebut bahwa sistem proporsional terbuka lebih menguntungkan kader yang hanya modal popularitas dan bisa bayar mahal dibandingkan kader yang berpengalaman dan berkualitas.Â
Pro kontra terkait wacana tersebut pasti ada. Sebelum masuk ke bahasan mana yang lebih baik, mari kita tengok sejenak sejarah perjalanan pemilu nasional dari masa ke masa sebagai bahan pelajaran.Â
Sejarah Perjalanan Pemilu di IndonesiaÂ
Sistem proporsional tertutup pernah digunakan pada masa Orde Lama (Pemilu 1955) dan Orde Baru (Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997) serta tahun 1999 atau setahun setelah Presiden Soeharto lengser.Â
Sistem proporsional tertutup yang digunakan pada pemilu nasional pertama Indonesia tahun 1955 disebut juga sebagai sistem berimbang. Disebut demikian karena wilayah negara Indonesia yang terlalu luas dibagi berdasarkan daerah pemilihan dengan membagi jumlah kursi melalui perbandingan jumlah penduduk.Â
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Magister Ilmu Hukum (MIH) Universitas Diponegoro, M. Nizar Khedir yang dirangkum secara singkat dalam Media Indonesia, mengungkapkan bahwa pada Pemilu 1955 para peserta pemilu tidak hanya bersaing secara elektoral tapi juga mengemban misi (moral) untuk mengentaskan buta huruf sebesar 97% melalui pendidikan politik.Â
Menurutnya, ada perbedaan dalam penerapan sistem ini di era Orde Lama dan Orde Baru.Â
Pada Pemilu 1955 hampir tidak ditemukan kasus nepotisme dan politik uang yang masif. Masyarakat pun antusias memilih partai politik berdasarkan gagasan dan gerakan politik yang ditawarkan partai.Â
Pada Pemilu 1971, rezim Orba menggunakan UU Nomor 15 Tahun 1969 sebagai dasar penyelenggaraan pemilu, di mana semua kursi terbagi habis di tiap daerah pemilihan.Â
Di era inilah, sistem proporsional tertutup menciptakan rantai oligarki yang mencederai nilai-nilai demokrasi.Â
Golkar dijadikan kendaraan politik yang melanggengkan kekuasaan Soeharto hingga 32 tahun. Segala upaya dilakukan agar Golkar tetap menang dalam setiap pemilu.Â
Mulai dari penerbitan Keppres Nomor 82/1971 tentang Pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang menempatkan PNS sebagai bagian dari Golkar; memasukkan personel ABRI, parpol dan Golkar sebagai anggota Dewan Pertimbangan Lembaga Pemilihan Umum; menerbitkan aturan diskriminatif tentang pelarangan pembentukan cabang partai di bawah tingkat provinsi; pengurangan masa kampanye dari 45 hari menjadi 25 hari; larangan mengkritik kebijakan pemerintah hingga melakukan Penelitian Khusus (Litsus) pada calon-calon anggota DPR.Â
Pemilu 1999 dilakukan dengan menentukan peringkat perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Para calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari daerah tempat seseorang dicalonkan. Pada pemilu inilah, terakhir kalinya Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup.Â
Barulah pada Pemilu 2004 sistem proporsional terbuka digunakan. Pemilihan presiden dan wakil presiden pun tidak lagi dilakukan oleh MPR, tapi dilakukan secara langsung oleh rakyat.Â
Jika pada tahun 2004, 2009 dan 2014 pemilu dilakukan dalam dua putaran, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tahun 2019 diselenggarakan dalam satu putaran.Â
Pro Kontra Sistem Proporsional Tertutup vs TerbukaÂ
Dalam sistem proporsional tertutup, tidak ada nama caleg di surat suara. Yang ada hanya logo partai. Dari partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut.Â
Pihak yang kontra menilai sistem proporsional tertutup sebagai kemunduran demokrasi. Â
Tidak dicantumkannya nama caleg membuat pemilih seperti "membeli kucing dalam karung". Ada kehawatiran bahwa calon yang terpilih adalah orang-orang dengan rekam jejak yang bermasalah.Â
Pihak  yang pro menilai bahwa sistem ini adalah solusi atas mahalnya biaya politik. Selain itu, sistem proporsional tertutup dapat meringankan beban panitia pelaksana pemilu dalam proses rekapitulasi suara. Mengingat pada  Pemilu 2019 lalu  banyak panitia meninggal akibat kelelahan.Â
Sementara itu, dalam sistem proporsional terbuka, nama-nama caleg dan logo partai tercantum di surat suara. Pemilih bisa mencoblos nama caleg atau logo partai.Â
Kelemahan sistem ini adalah menghabiskan lebih banyak biaya dan rawan politik uang. Kelemahan lainnya adalah lebih menitikberatkan pada popularitas caleg ketimbang visi-misi, gagasan politik dan program-programnya.Â
Apalagi kalau  caleg yang diusung berasal dari kalangan artis. Pasti mudah sekali mendulang suara, terutama dari para penggemarnya.Â
Mana yang Lebih Baik?Â
Para pakar berbeda pandangan soal ini. Namun, mereka sepakat bahwa tidak ada sistem yang lebih baik atau lebih buruk. Yang ada adalah yang paling ideal dan sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.Â
Sebagai masyarakat awam, saya tidak mempermasalahkan sistem pemilu mana yang akan dipakai.. Yang saya harapkan adalah tidak ada lagi drama-drama tidak penting seperti pada Pemilu 2019 lalu.Â
Karena setiap sistem ada plus minusnya, saya harap pihak-pihak pengambil kebijakan tahu mitigasi risiko dari setiap pilihan yang diambil.Â
Misal ingin ngotot balik ke sistem proporsional tertutup, sila pikirkan apa yang harus dilakukan agar polemik pemilu era Orba tidak terulang kembali dan tidak makin memperkuat rantai oligarki.Â
Pikirkan juga solusi agar para pemilih tidak seperti "membeli kucing dalam karung".Â
Menurut pengamat politik UGM, Mada Sukmajati, penerapan sistem ini bisa diakali dengan melakukan pemilu pendahuluan atau proses kandidasi di internal politik yang memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.Â
Senada dengan pandangan Mada, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini juga menambahkan perlunya transparansi keuangan partai.Â
Meski di surat suara hanya ada logo partai, nama-nama calon yang lolos dalam proses kandidasi tetap harus diserahkan ke KPU untuk diumumkan ke publik.Â
Begitu pun soal mahalnya biaya demokrasi yang kerap jadi masalah pada sistem proporsional terbuka. Perlu tahu dulu apa yang membuatnya mahal agar bisa dicari solusinya. Apakah karena mahar politik? Pendanaan untuk tim pemenangan? Biaya kampanye, baik luring maupun daring? Atau gara-gara uang yang dibagi-bagi ke masyarakat agar mereka mencoblos nama si caleg?Â
Apapun sistem yang akan dipakai, yang juga tidak kalah penting adalah perbaiki dulu mental kolonial dan korup orang-orang politik itu serta edukasi politik bagi masyarakat. Â
Bagaimana menurut Anda?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H