Pada Pemilu 1955 hampir tidak ditemukan kasus nepotisme dan politik uang yang masif. Masyarakat pun antusias memilih partai politik berdasarkan gagasan dan gerakan politik yang ditawarkan partai.Â
Pada Pemilu 1971, rezim Orba menggunakan UU Nomor 15 Tahun 1969 sebagai dasar penyelenggaraan pemilu, di mana semua kursi terbagi habis di tiap daerah pemilihan.Â
Di era inilah, sistem proporsional tertutup menciptakan rantai oligarki yang mencederai nilai-nilai demokrasi.Â
Golkar dijadikan kendaraan politik yang melanggengkan kekuasaan Soeharto hingga 32 tahun. Segala upaya dilakukan agar Golkar tetap menang dalam setiap pemilu.Â
Mulai dari penerbitan Keppres Nomor 82/1971 tentang Pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) yang menempatkan PNS sebagai bagian dari Golkar; memasukkan personel ABRI, parpol dan Golkar sebagai anggota Dewan Pertimbangan Lembaga Pemilihan Umum; menerbitkan aturan diskriminatif tentang pelarangan pembentukan cabang partai di bawah tingkat provinsi; pengurangan masa kampanye dari 45 hari menjadi 25 hari; larangan mengkritik kebijakan pemerintah hingga melakukan Penelitian Khusus (Litsus) pada calon-calon anggota DPR.Â
Pemilu 1999 dilakukan dengan menentukan peringkat perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Para calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari daerah tempat seseorang dicalonkan. Pada pemilu inilah, terakhir kalinya Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup.Â
Barulah pada Pemilu 2004 sistem proporsional terbuka digunakan. Pemilihan presiden dan wakil presiden pun tidak lagi dilakukan oleh MPR, tapi dilakukan secara langsung oleh rakyat.Â
Jika pada tahun 2004, 2009 dan 2014 pemilu dilakukan dalam dua putaran, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif tahun 2019 diselenggarakan dalam satu putaran.Â
Pro Kontra Sistem Proporsional Tertutup vs TerbukaÂ
Dalam sistem proporsional tertutup, tidak ada nama caleg di surat suara. Yang ada hanya logo partai. Dari partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut.Â
Pihak yang kontra menilai sistem proporsional tertutup sebagai kemunduran demokrasi. Â
Tidak dicantumkannya nama caleg membuat pemilih seperti "membeli kucing dalam karung". Ada kehawatiran bahwa calon yang terpilih adalah orang-orang dengan rekam jejak yang bermasalah.Â