Kadang, yang jadi masalah adalah ketika persona dan citra yang ditampilkan oleh seorang idol adalah bentukan agensi. Kita mungkin tidak pernah tahu yang mana yang asli dan mana yang bentukan agensi.
Kepribadian aslinya tegas, tapi disuruh jadi sosok yang doyan aegyo (bertingkah imut). Atau idol yang aslinya gesrek dan pecicilan, tapi ditampilkan sebagai sosok yang elegan ala-ala pangeran atau putri kerajaan.Â
Akibatnya, idol bisa jadi merasa tidak nyaman karena tidak bisa jadi diri sendiri. Risiko lainnya tentu saja hujatan warganet karena apa yang dilakukan sang idol dirasa berlebihan, cari perhatian atau palsu.
Persona dan citra yang dibentuk agensi bisa juga karena menyesuaikan dengan konsep. Hal ini turut membangun imajinasi penggemar terhadap sosok idol tertentu. Namun, yang paling lazim adalah para idol sering diimajinasikan sebagai pacar/pasangan penggemar.
Kalau artis Indonesia atau Barat bisa dengan bebas pamer kemesraan dengan ayangnya, idol K-Pop tidak.
Idol K-Pop yang ketahuan pacaran, apalagi kalau dia adalah personel boy/girl group yang namanya lagi moncer, penggemarnya pasti mencak-mencak.Â
Jangankan yang beneran pacaran, yang baru sebatas rumor aja bisa disikat. Yang pacaran siapa, yang ngamuk-ngamuk penggemar, kok bisa?
Itu karena banyak K-Poper menganut paham BIM (bias is mine), di mana mereka merasa memiliki sang idol. Makanya, kalau idolanya pacaran atau baru sebatas rumor, mereka merasa sudah dikhianati dan dibohongi.
Idol juga rentan dijadikan objek seksualisasi penggemar akibat persona dan citra yang ditampilkan.Â
Yang mengkhawatirkan adalah ketika ada idol masih di bawah umur tapi dikasih konsep, lagu, koreografi atau kostum panggung yang terlalu dewasa untuk usianya.
Agensi ingin mengusung konsep sexy untuk boy/girl group besutannya, tapi tidak memperhatikan kalau di grup masih ada member yang di bawah umur. Member usia minor ini rentan sekali jadi objek seksualisasi penggemar yang berusia lebih tua. Malah creepy kan jadinya?