Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Moderasi Beragama dari Perspektif Gereja Katolik

16 Desember 2022   14:23 Diperbarui: 16 Desember 2022   14:33 4749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain terkenal akan kekayaan dan keindahan alamnya, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan budaya.

Di satu sisi, keragaman adalah anugerah sedangkan di sisi lain keragaman bisa jadi musibah jika tak pandai merawat dan menjaganya. Beberapa kasus seperti intoleransi, diskriminasi, politisasi agama hingga terorisme menjadi ujian dan tantangan bagi keragaman di Indonesia.

Meski dalam masyarakat yang beragam ini rentan terjadi konflik, moderasi beragama telah mampu membuktikan perannya dalam mengatasi dan mencegah agar konflik tidak semakin meluas serta mengancam persatuan bangsa. Saat ini, moderasi beragama bahkan menjadi salah satu program prioritas yang selalu digaungkan oleh Kementerian Agama (KEMENAG) RI. 

Moderasi adalah kata sifat yang merupakan turunan dari kata moderation yang berarti tidak berlebih-lebihan atau sedang. Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi moderasi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman.

Ketika kata 'moderasi' disandingkan dengan kata 'beragama' sehingga menjadi moderasi beragama, maknanya menjadi suatu sikap mengurangi kekerasan atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.

Namun, dalam praktiknya, moderasi beragama kerap disalahpahami oleh sebagian orang sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama lain. Orang yang bersikap moderat dalam beragama sering dianggap tidak teguh pendirian atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Padahal, bersikap moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang bersikap moderat dalam beragama akan menerima dan menghargai setiap perbedaan tapi tetap teguh dalam memegang keimanan dan menjalani ritual pokok agama.

Moderasi beragama bukanlah monopoli atau hanya diajarkan dalam agama tertentu. Dalam perspektif Gereja Katolik misalnya, mereka menyebut diri sebagai "persekutuan iman, harapan, dan cinta kasih". Iman yang menggerakkan hidup, memberi dasar kepada harapan dan dinyatakan dalam cinta kasih.

Istilah "moderat" memang tidak biasa dalam Gereja Katolik. Istilah yang dipakai adalah "terbuka" terhadap "fundamentalis" dan "tradisionalis" (yang menolak pembaruan dalam pengertian Gereja Katolik). Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965 menjadi momentum penting bagi Gereja universal dalam membangun relasi dengan agama-agama lain. Konsili ini juga menjadi semacam pengesahan atas perjalanan panjang Gereja Katolik ke pengertian diri dan kekristenan yang lebih terbuka atau lebih "moderat".

Dekrit Nostra Aetate (NA) merupakan dekrit penting dalam Konsili Vatikan II yang secara khusus berbicara tentang hubungan antara Gereja dengan agama-agama non kristen. Melalui dekrit inilah Gereja Katolik mengakui realitas pluralisme religius dan membuka diri terhadap kebenaran yang terdapat dalam agama-agama non kristen.

Dalam konteks Gereja Indonesia, hal yang paling mendesak adalah bagaimana membangun jembatan penghubung perbedaan antaragama agar bisa sama-sama menuju persaudaraan nasional yang kokoh. Salah satu gagasan paling relevan adalah melalui dialog antar umat beragama yang berguna dalam memulihkan hubungan antar agama yang tak jarang dilanda berbagai konflik.

Dengan demikian, umat Katolik didorong untuk mengenal dan mengetahui agama-agama lain. Bukan hanya demi dialog dan hubungan baik antar umat beragama melainkan juga agar bisa lebih mengetahui dan menyadari kekhasan serta jati diri agamanya sendiri. Sebagaimana pesan yang terdapat dalam Dekrit Nostra Aetate artikel 2 (NA.2), umat Katolik dinasihati untuk senantiasa berdialog dan bekerja sama dalam mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani, moral, dan nilai-nilai sosial budaya dengan umat beragama lainnya.

Kemajemukan sejatinya dapat menjadi modal sosial yang besar untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur. Modal sosial tersebut salah satunya berupa budaya gotong royong serta sikap toleransi beragama yang juga melekat sebagai identitas masyarakat Indonesia.

Selain modal sosial, modal penting lainnya dalam mengatasi masalah keberagamaan adalah pengalaman empirik masyarakat dalam mengimplementasikan moderasi beragama. Salah satu  yang dapat dijadikan contoh terkait penyelesaian masalah keberagamaan adalah ketika Gereja Katedral Jakarta mengubah jadwal misa yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, Minggu, 25 Juni 2017 silam.

Berhubung Masjid Istiqlal yang bertetangga dengan gereja akan dipadati oleh umat Islam yang melaksanakan shalat Ied, misa yang biasanya dilaksanakan sebanyak enam kali, diubah menjadi empat kali oleh Dewan Paroki Gereja Katedral Jakarta. Para pengurus Gereja Katedral juga mempersilahkan umat Islam untuk memarkirkan kendaraannya di halaman gereja sebagai dukungan atas terlaksananya shalat Idul Fitri. Kejadian serupa terulang kembali pada pelaksanaan shalat Idul Adha tanggal 11 Agustus 2019 di Masjid Istiqlal.

Sebagai seseorang yang telah bersentuhan dengan keragaman sejak kecil, penulis juga punya beberapa pengalaman terkait moderasi beragama yang ditunjukkan oleh umat Katolik kepada pemeluk agama lain.

Penulis ingat ketika masih Taman Kanak-Kanak (TK), mayoritas tenaga pengajar dan murid beragama Katolik dan beretnis Tionghoa. Meski demikian, sekolah menyediakan guru agama Islam, Hindu, dan Buddha agar anak-anak yang beragama selain Katolik juga mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.

Seorang tetangga beragama Katolik yang rumahnya berhadapan dengan rumah orang tua penulis kerap berbagi makanan kepada tetangga sekitar ketika memperingati hari rayanya. Beliau juga sering menyapa, bersilaturahmi, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di komplek tempat tinggal penulis. Ketika beliau meninggal, tetangga lainnya pun datang melayat.

Pemahaman dan implementasi moderasi beragama semestinya ditanamkan sejak dini, baik melalui keluarga, pendidikan maupun masyarakat. Pengajaran agama sebaiknya tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat ritual, tetapi juga tentang kemanusiaan. Tanpa pemahaman yang baik dan implementasi nyata, moderasi beragama hanya akan menjadi teori. Kita tentu tidak mengharapkan hal ini terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun