Dalam konteks Gereja Indonesia, hal yang paling mendesak adalah bagaimana membangun jembatan penghubung perbedaan antaragama agar bisa sama-sama menuju persaudaraan nasional yang kokoh. Salah satu gagasan paling relevan adalah melalui dialog antar umat beragama yang berguna dalam memulihkan hubungan antar agama yang tak jarang dilanda berbagai konflik.
Dengan demikian, umat Katolik didorong untuk mengenal dan mengetahui agama-agama lain. Bukan hanya demi dialog dan hubungan baik antar umat beragama melainkan juga agar bisa lebih mengetahui dan menyadari kekhasan serta jati diri agamanya sendiri. Sebagaimana pesan yang terdapat dalam Dekrit Nostra Aetate artikel 2 (NA.2), umat Katolik dinasihati untuk senantiasa berdialog dan bekerja sama dalam mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani, moral, dan nilai-nilai sosial budaya dengan umat beragama lainnya.
Kemajemukan sejatinya dapat menjadi modal sosial yang besar untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur. Modal sosial tersebut salah satunya berupa budaya gotong royong serta sikap toleransi beragama yang juga melekat sebagai identitas masyarakat Indonesia.
Selain modal sosial, modal penting lainnya dalam mengatasi masalah keberagamaan adalah pengalaman empirik masyarakat dalam mengimplementasikan moderasi beragama. Salah satu  yang dapat dijadikan contoh terkait penyelesaian masalah keberagamaan adalah ketika Gereja Katedral Jakarta mengubah jadwal misa yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, Minggu, 25 Juni 2017 silam.
Berhubung Masjid Istiqlal yang bertetangga dengan gereja akan dipadati oleh umat Islam yang melaksanakan shalat Ied, misa yang biasanya dilaksanakan sebanyak enam kali, diubah menjadi empat kali oleh Dewan Paroki Gereja Katedral Jakarta. Para pengurus Gereja Katedral juga mempersilahkan umat Islam untuk memarkirkan kendaraannya di halaman gereja sebagai dukungan atas terlaksananya shalat Idul Fitri. Kejadian serupa terulang kembali pada pelaksanaan shalat Idul Adha tanggal 11 Agustus 2019 di Masjid Istiqlal.
Sebagai seseorang yang telah bersentuhan dengan keragaman sejak kecil, penulis juga punya beberapa pengalaman terkait moderasi beragama yang ditunjukkan oleh umat Katolik kepada pemeluk agama lain.
Penulis ingat ketika masih Taman Kanak-Kanak (TK), mayoritas tenaga pengajar dan murid beragama Katolik dan beretnis Tionghoa. Meski demikian, sekolah menyediakan guru agama Islam, Hindu, dan Buddha agar anak-anak yang beragama selain Katolik juga mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.
Seorang tetangga beragama Katolik yang rumahnya berhadapan dengan rumah orang tua penulis kerap berbagi makanan kepada tetangga sekitar ketika memperingati hari rayanya. Beliau juga sering menyapa, bersilaturahmi, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di komplek tempat tinggal penulis. Ketika beliau meninggal, tetangga lainnya pun datang melayat.
Pemahaman dan implementasi moderasi beragama semestinya ditanamkan sejak dini, baik melalui keluarga, pendidikan maupun masyarakat. Pengajaran agama sebaiknya tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat ritual, tetapi juga tentang kemanusiaan. Tanpa pemahaman yang baik dan implementasi nyata, moderasi beragama hanya akan menjadi teori. Kita tentu tidak mengharapkan hal ini terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H