Ketika media informasi dan hiburan masih terbatas, radio adalah andalan dan kesayangan masyarakat.
Di masa pra kemerdekaan hingga Orde Baru (Orba), radio juga kerap digunakan sebagai alat propaganda.
Meski siaran radio pernah mengalami pembatasan (baca: muatan siaran tidak boleh mengkritik pemerintah) di zaman Orba, di tahun 80-an hingga 90-an industri radio mencapai puncak kejayaannya.
Di tengah gempuran portal berita daring, media sosial, aplikasi pemutar musik dan siniar (podcast), benarkah radio mulai ditinggalkan pendengarnya?
Survei Nielsen tentang jumlah pendengar radio pada kuartal III tahun 2016 menunjukkan bahwa siaran radio masih didengarkan oleh 20 juta orang dengan durasi rata-rata selama 139 menit. (1)
Masyarakat berusia 35-49 tahun atau yang termasuk dalam kategori generasi X menempati peringkat pertama dengan durasi mendengarkan radio terlama, yaitu 18 jam per minggu. Berikutnya, secara berturut-turut disusul oleh generasi baby boomer (50-56 tahun) selama 17 jam 20 menit, silent generation (65 tahun ke atas) selama 16 jam 22 menit dan milenial (15-34 tahun) selama 15 jam 37 menit.
Meski sekarang sudah sangat jarang medengarkan radio, saya merasa ada beberapa hal mengasyikan dari radio yang membedakannya dengan konten audio lainnya.
Pertama, request lagu
Zaman radio masih jaya-jayanya, radio adalah sumber hiburan untuk mendengarkan lagu-lagu, terutama lagu-lagu yang lagi hits. Pendengar bebas request mau lagu Indonesia atau Barat, genre pop, rock, jazz, dangdut, lagu baru atau lawas dan sebagainya.
Waktu masih sering dengar radio, saya juga suka mendengarkan lagu-lagu Jepang di salah satu radio lokal Jogja, Swaragama FM setiap Minggu sore. Salah satu penyiarnya orang Jepang asli yang bahasa Indonesianya cukup fasih.
Sekarang mau dengar lagu tidak perlu repot-repot request ke radio. Tinggal buka aplikasi pemutar musik atau buka YouTube kalau ingin sekalian lihat MV nya. Lagu bisa didengarkan kapan dan dimana saja. Bisa disetel berulang-ulang.