Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Hari PPHAM dan Stigma yang Kerap Diterima oleh Perempuan Pembela HAM

30 November 2022   09:57 Diperbarui: 30 November 2022   10:10 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sejumlah perempuan berdemonstrasi menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan-photo by Max Ravier from pexels

Kalau setiap tanggal 25 November dunia memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tanggal 29 November adalah Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) atau Women Human Rights Defender (WHRD) International.

Memang apa itu Hari PPHAM?

Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) merupakan bagian dari rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days Activism Against Gender Violence), yang dimulai dari tanggal 25 November sampai tanggal 10 Desember mendatang.

Lahirnya peringatan dan aktivisme ini berawal dari peristiwa pembunuhan Mirabal bersaudara (Minerva, Maria Teresa dan Patria) akibat menentang dan terlibat dalam kegiatan rahasia melawan rezim diktator Rafael Trujillo, penguasa Republik Dominika pada saat itu. Peristiwa pembunuhan Mirabal bersaudara inilah yang kemudian dijadikan simbol perjuangan hak-hak perempuan, terutama dengan diakuinya kekerasan berbasis gender.

Keberadaan dan perjuangan para perempuan pembela HAM kemudian diakui dan dilindungi dalam Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia pada tahun 1984 dan disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 29 November 1998.

Lalu, siapa sajakah yang disebut sebagai Perempuan Pembela HAM ?

Secara definisi, perempuan pembela HAM (PPHAM) adalah perempuan yang berjuang membela HAM serta mereka yang bekerja membela hak-hak perempuan dan isu-isu kesetaraan gender.

Mereka umumnya dikenal dengan berbagai sebutan. Ada yang menamakannya pekerja sosial pendamping, pekerja kemanusiaan, aktivis perempuan, pendamping korban, community organizer, pemberi bantuan hukum, pekerja HAM dan relawan sosial.

Meski keberadaan PPHAM ini sudah mendapat pengakuan oleh PBB, kerja-kerja kemanusiaan mereka kerap mendapat nyinyiran, stigma bahkan intimidasi, khususnya di Indonesia. 

Apa sajakah nyinyiran atau stigma yang sering diterima oleh PPHAM?

1. Sering disebut sebagai SJW

Perempuan speak up soal kekerasan seksual, dibilang SJW gender. Kampanye penggunaan sedotan stainless atau kayu alih-alih sedotan plastik, dibilang SJW sedotan. Mengingatkan pengendara motor yang nyerobot trotoar, dibilang SJW trotoar.

SJW (Social Justice Warrior) atau Pejuang Keadilan Sosial, kalau dilihat dari namanya sebetulnya bagus. Entah gara-gara siapa, istilah SJW mengalami pergeseran makna menjadi bercitra negatif.

SJW dicitrakan sebagai orang-orang yang galak, oversensitive, suka terlibat perdebatan mengenai masalah gender, lingkungan atau masalah sosial lainnya, tapi hanya untuk mencari pembenaran.

Namun, apakah semua SJW semenyebalkan itu? Bagaimana dengan SJW yang betul-betul menyuarakan kepedulian? Masa ada orang mengajak pada kebaikan malah diledek?

2. Sering diejek sebagai "Si Paling Open Minded"

Hal yang paling menjengkelkan ketika menyuarakan isu-isu kesetaraan adalah orang-orang yang kalau tidak setuju, bukannya adu argumen secara rasional dan dewasa, malah mengeluarkan pernyataan yang out of context, logical fallacy dan ejekan "Si Paling Open Minded". 

Ini sebetulnya lagi debat sama orang dewasa atau anak TK sih?

Apalagi kalau isu yang dibahas unpopular dan pandangan, sikap, kebiasaan atau pilihan hidupnya berbeda dengan mayoritas. Seolah-olah semua pandangan, sikap, kebiasaan atau pilihan hidup mayoritas itu pasti benar, sedangkan yang minoritas selalu salah dan menyimpang.

3. Dipertanyakan identitas, seksualitas atau peran gendernya

Menjadi feminis di negara dengan kesenjangan gender yang begitu lebar memang tidak gampang. Harus kuat mental menghadapi tekanan sosial dan stereotipe yang berkembang. 

Ketika perempuan menunjukkan identitasnya sebagai feminis, ia bakal dihadapkan dengan sejumlah stereotipe seperti, pembenci laki-laki, anti pernikahan, anti punya anak, anti Ibu Rumah Tangga, benci pekerjaan domestik, benci make up, pendukung seks bebas, penyuka sesama jenis sampai ada yang disangka sebagai agnostik atau atheis.

Padahal yang benar adalah feminisme membenci patriarki, bukan laki-laki. 

Feminis juga banyak yang menikah, punya anak dan menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia.

Feminis tidak melulu perempuan karier. Ibu Rumah Tangga yang melek kesetaraan gender pun ada. Mereka bukannya benci pekerjaan domestik, melainkan benci ketika pekerjaan domestik disepelekan, dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai pekerjaan perempuan semata. Lagipula, sejak kapan sih pekerjaan punya jenis kelamin?

Jadi feminis juga tidak perlu sampai menggadaikan keimanan. Mau jadi muslim, Kristen, Hindu atau penganut kepercayaan apapun sembari menjadi feminis pun bisa dan sah-sah saja.

4. Dipertanyakan soal agama dan keimananya

    "Anda muslim bukan?"

Pertanyaan ini kerap dilontarkan kepada mereka yang vokal dalam menyuarakan kesetaraan gender atau lebih luasnya tentang HAM.

Pasalnya, banyak yang menganggap bahwa HAM, termasuk di dalamnya kesetaraan gender merupakan produk budaya dan ideologi Barat sehingga bertentangan dengan agama dan budaya ketimuran.

Jika yang menyuarakan adalah perempuan berjilbab, si perempuan ini biasanya akan disuruh untuk menanggalkan jilbabnya. Seolah mengisyaratkan bahwa isu tersebut tidak pantas dibawakan oleh seorang muslimah (berjilbab).

Saya yang bukan aktivis gender, bukan pekerja HAM, yang cuma pemerhati isu gender kelas umbi-umbian saja pernah kena semprot seseorang yang saya kenal gara-gara tulisan-tulisan saya di Kompasiana tentang kesetaraan gender. 

Masih mending kalau dia menyajikan argumen tandingan yang masuk akal. Yang ada malah saya diceramahi panjang kali lebar.

Wasana Kata

Sebagaimana yang saya tulis dalam artikel tertanggal 25 November lalu (klik di sini), bukan hanya perempuan korban kekerasan saja yang kerap mendapat olok-olok, ancaman dan intimidasi dari pihak lain. 

Perempuan-perempuan pembela yang berada dalam satu barisan dengan korban, perempuan-perempuan yang melakukan kerja-kerja HAM, juga menghadapi risiko dan tantangannya masing-masing.

Saya tidak membantah bahwa pandangan dan sikap para aktivis gender kadang memang kontroversial, terutama bagi kelompok yang masih memegang erat norma sosial, budaya dan agamanya.

Mengambil sikap bersebarangan atau mengkritik argumen mereka pun sebetulnya tidak masalah. 

Anda boleh mengekspresikan ketidaksetujuan dengan menyerang atau mempertanyakan argumennya. Namun, ketika yang Anda pertanyakan adalah identitas dan peran gender, seksualitas, apalagi agama dan keimanan, itu tidak lebih dari pertunjukan kebodohan belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun