Ketika media misalnya, memberi judul "Oknum Pejabat Kabupaten Anu Terima Suap Perizinan Tambang Rp 100 Miliar" untuk menyebut maling uang rakyat, kenapa nyaris tidak pernah ditemukan sebutan "oknum" untuk menyebut maling ayam?
KBBI mendefinisikan kata "oknum" sebagai: 1.) penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; 2.) orang seorang dan 3.) orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik).
Kita bisa aja ngeles dengan berpegang pada makna nomor 2 dan 3 untuk menyebut polisi, tentara, pejabat atau orang-orang besar dan berpengaruh yang melakukan pelanggaran hukum. Kita juga biasanya bakal refleks bilang, "Kan gak semua kayak gitu" dan semacamnya.
Namun, sebagai sebuah institusi, tindakan amoral dan inkonstitusional segelintir orang itu berdampak sekali bagi institusi. Yang berulah dia, dia dan dia, tapi itu jadi aib bagi institusi.
Konsekuensinya tentu saja tuntutan akan perbaikan sistem dalam institusi tersebut dan keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan. Namun, gara-gara istilah sialan ini sudah dinormalisasi, institusi seolah berlepas tangan demi nama baik tetap terjaga.
Alih-alih menjadi masalah dan tanggung jawab institusional, oknumisasi mereduksinya menjadi sebatas masalah dan tanggung jawab individual. Makanya, masyarakat mau misuh-misuh kayak apa, tetap saja tidak ada perubahan.
Bentuk lain lagi dari politisasi bahasa yang sering digunakan adalah penghalusan makna dalam bentuk eufemisme. Contohnya, kata "diamankan" yang memperhalus kata "ditahan".
Istilah ini muncul berkaitan dengan Tragedi 1965, di mana terjadi penangkapan dan pembunuhan besar-besaran, baik terhadap orang-orang PKI maupun warga sipil biasa yang tidak tahu apa-apa. Saat itu Orba menggunakan istilah "mengamankan" warga alih-alih "menahan" untuk menyangkal apa yang sudah dilakukannya.
Padahal orang-orang yang (katanya) "diamankan" itu, nyatanya sama sekali tidak dalam keadaan aman.Â
Kalau tidak dipenjara, dibuang ke Pulau Buru (untuk tapol laki-laki) atau ke Kamp Plantungan (untuk tapol perempuan). Kalau tidak keduanya, kemungkinan dibunuh dan entah di mana kuburnya.
Politisasi bahasa juga sering digunakan penguasa untuk membungkam kritik. Misalnya, melalui istilah "kritik yang membangun".