Biasanya, street harassment yang diikuti oleh orientasi ke arah seksual, berpotensi menjadi sexual harassment atau pelecehan seksual.Â
Hasil survei yang diinisiasi oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) dan difasilitasi oleh Change.org Indonesia pada 2019 menunjukkan jalanan umum menjadi lokasi paling banyak terjadi pelecehan seksual dengan persentase 33%.Â
Dalam kondisi pandemi Covid-19 dan adanya PSBB sekalipun, lebih dari 2.000 responden melaporkan mengalami pelecehan seksual di ruang publik, seperti jalanan umum dan taman (Survei KRPA 2021). Lagi-lagi, jalanan umum masih menduduki peringkat teratas lokasi yang paling banyak terjadi pelecehan seksual.Â
Survei lain dari IPSOS pada tahun 2021 menunjukkan sebanyak 80% perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.Â
Adapun jenis pelecehan seksual di ruang publik yang paling sering dialami adalah tatapan, lirikan dan gestur-gestur tidak senonoh sebanyak 57%.
Disusul di urutan kedua dan ketiga adalah komentar atau candaan seksual tentang tubuh dengan persentase 52% dan siulan, catcalling, suara kecupan/ciuman sebesar 49%.Â
Meski korbannya sebagian besar adalah perempuan, bukan berarti laki-laki tidak bisa menjadi korban street harassment.Â
FM 104 sebagaimana dikutip dalam parapuan.co menyebutkan persentase laki-laki dengan rentang usia 18-34 tahun yang mengalami street harassment mencapai 23%.Â
Selain itu, street harassment juga bisa dialami oleh kelompok LGBTQ, disabilitas hingga kaum minoritas seperti orang berkulit hitam dan kulit berwarna.Â
Street harassment kadang tidak mudah diketahui karena dilakukan secara diam-diam dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Misalnya, di dalam bus atau KRL yang penuh, pelaku sengaja memepetkan tubuhnya dan meraba-raba tubuh penumpang lain yang ada di dekatnyaÂ