Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

5 Hal yang Membuat KDRT Sulit Dihentikan

3 Oktober 2022   15:44 Diperbarui: 4 Oktober 2022   13:26 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi suami mengancam istrinya yang meminta bercerai-photo by Timur Weber from pexels

Baru-baru ini media heboh dengan kabar KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora. Sang suami, Rizki Billar dikabarkan melakukan kekerasan fisik terhadap Lesti, seperti mendorong, mencekik dan membanting. 

Semuanya berawal dari Lesti yang meminta pada Billar untuk dipulangkan ke orangtua Lesti setelah mengetahui kalau Billar selingkuh.

Apa yang menimpa Lesti ini menambah panjang daftar kasus KDRT di Indonesia. Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komnas Perempuan yang diterbitkan pada 5 Maret 2021 menunjukkan sepanjang tahun 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dari 299.911 kasus ini, sebanyak 291.677 kasus ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, 8.234 kasus oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dan 2.389 kasus oleh Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.

Dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, kekerasan di ranah personal atau disebut KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menempati urutan tertinggi dengan jumlah 6.480 kasus (79%), dengan kekerasan terhadap istri di peringkat pertama, yaitu 3.221 kasus (50%). 

Bentuk kekerasan yang paling mendominasi adalah kekerasan fisik dengan 2.025 kasus (31%), disusul oleh kekerasan seksual 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 kasus (28%) dan ekonomi 680 kasus (10%).

Jumlah yang tercatat ini bisa jadi lebih besar sebab ada juga kasus-kasus KDRT yang tidak dilaporkan. Penyelesaian secara kekeluargaan, meski dilakukan untuk menutupi aib, tidak menjamin di kemudian hari kejadian serupa tidak akan terulang kembali. Hal ini membuat KDRT menjadi fenomena gunung es dan seperti lingkaran setan yang sulit diputus. 

Mengapa demikian?

Pertama, budaya patriarki yang menormalisasi KDRT

Dalam budaya patriarki, istri bukan diposisikan sebagai teman hidup dan mitra yang setara bagi suami. Ia diposisikan sebagai "pelayan" yang tidak boleh mengeluh.

Dituntut harus selalu bersih, rapi dan wangi. Tak peduli sebanyak apapun pekerjaannya dan selelah apapun fisik maupun mentalnya. Kalau tidak, nanti suami berpaling ke perempuan lain.

Mohon maaf, saya cuma mau bilang bahwa pesan ini bulls**t! 

Karena nyatanya mau secantik, seseksi, secerdas, dan sebaik apapun istri, ada aja yang ditinggal selingkuh suaminya.

Mau beralasan istri kurang dandan, bau terasi atau badan melar? Kalau ini alasannya, apakah suami sudah memberi me time atau modal untuk merawat diri? 

Nah, kadang istri sudah melakukan kewajiban dengan baik, menuruti semua yang diminta oleh suami, tapi tetap diselingkuhi.

Dan perselingkuhan itu termasuk KDRT.

Lalu, apa hukuman sosial bagi suami yang berselingkuh?

Tidak ada.

Yang terjadi malah istrinya yang dianggap kurang dandan, kurang menjaga badan, terlalu sibuk kerja sehingga wajar kalau suami cari yang lebih "bening".

Ketika suami marah-marah sambil berteriak, berkata kasar bahkan memukul, tindakan ini masih saja ada yang memaklumi. "Wajar sih suami marah-marah gitu, mungkin dia lagi stres dengan masalah kerjaan."

Hellooo?! Violence is violence. Dengan alasan apapun, KDRT itu gak bener.

Kedua, dianggap sebagai aib

ilustrasi perceraian, meski akibat KDRT dianggap aib dan tabu-photo by cottonbro from pexels
ilustrasi perceraian, meski akibat KDRT dianggap aib dan tabu-photo by cottonbro from pexels
Pengaruh budaya dan agama mengajarkan bahwa masalah rumah tangga adalah aib sehingga tidak seharusnya diceritakan kepada orang lain.

Dalam ajaran Islam misalnya, disebutkan bahwa suami istri itu seperti pakaian bagi satu sama lain (Surat Al-Baqarah ayat 187), yang kerap dimaknai sebagai kewajiban untuk saling menutup aib pasangan. 

Yang jadi masalah adalah ketika ayat ini dimaknai secara mentah untuk menutupi perilaku KDRT. Padahal ajaran Islam tidak menghendaki adanya kesulitan dan kemudharatan pada umatnya.

Begitu pula dengan perceraian. Islam juga membenci perceraian, tapi bukan berarti diharamkan.

Nah, di masyarakat kita yang patriarkis, perempuan adalah kunci keutuhan rumah tangga. 

Setoksik apapun rumah tangganya, seblangsak apapun suaminya, perempuan diminta untuk sabar dan bertahan. Alasannya demi kebaikan anak-anak agar mereka tetap punya bapak. 

Jika rumah tangga bubar dan perempuan tersebut jadi janda, si perempuan bakal jadi omongan orang. Dianggap bikin malu keluarga dan tidak becus mengurus rumah tangga.

Ketiga, ketergantungan finansial

Keputusan paling rasional yang seharusnya dilakukan oleh perempuan korban KDRT adalah bercerai. Namun, seringkali keputusan itu tidak diambil karena takut kehilangan sumber nafkah. 

Hal ini sering sekali menimpa ibu-ibu rumah tangga yang menjadi korban KDRT. Apalagi kalau anak-anak masih kecil atau masih sekolah, siapa yang akan membiayai pendidikan mereka?

Parahnya lagi, sudah tahu istri tidak bekerja dan berpenghasilan (entah kesepakatan sejak awal istri jadi ibu rumah tangga atau setelah menikah diminta berhenti dari pekerjaannya), seluruh keuangan rumah tangga dikontrol suami dan istri tidak punya tabungan sama sekali. Jadi, istri sulit untuk meminta cerai karena dia sengaja dibuat bergantung secara finansial oleh suami.

Keempat, takut dengan ancaman pasangan

ilustrasi suami mengancam istrinya yang meminta bercerai-photo by Timur Weber from pexels
ilustrasi suami mengancam istrinya yang meminta bercerai-photo by Timur Weber from pexels

"Kalau kamu minta cerai, emang siapa yang bakal ngasih makan kamu?"

"Kalau kamu jadi janda, emang ada laki-laki yang mau sama perempuan kayak kamu?"

Kalimat-kalimat di atas adalah contoh ancaman laki-laki yang biasa dikatakan kepada perempuan yang meminta pisah. Mengancam dan merendahkan adalah cara mereka untuk membuat perempuan merasa takut dan tidak berdaya. 

Mereka tidak segan untuk mengungkit apa yang sudah mereka lakukan dan berikan sehingga perempuan akan berpikir kalau dirinya tidak bisa hidup tanpa pasangan.

Kelima, berharap pasangannya bisa berubah

Sebenarnya, saat pacaran sudah bisa dilihat apakah hubungan itu layak dipertahankan dan dilanjutkan ke pernikahan atau tidak. Apalagi bagi yang pacarannya sudah lama. Istilah kerennya adalah red flag.

Sayangnya, orang-orang sering tidak peka. 

Red flag sudah melambai-lambai tapi diabaikan dengan dalih sudah terlanjur cinta. 

Pikirnya, setelah menikah pasangan akan berubah. Pemikiran seperti inilah yang justru memberi peluang terjadinya KDRT.

Penutup

Memaksa perempuan korban KDRT untuk bertahan dalam relasi pernikahannya hanya akan memperburuk keadaan. Trauma bukan hanya akan dialami oleh perempuan tersebut, melainkan juga anak-anak mereka.

Pencegahan KDRT bisa dilakukan dengan mengamati apakah ada red flag dalam hubungan pacaran yang sedang dijalani.

Kalau kamu lagi marahan sama pacar dan pacarmu menghadapi masalah dengan emosional bahkan abusive, mending udahan aja.

Berharap setelah menikah dia bakal berubah? 

Jangan mimpi deh, kalau dia cuma janji-janji bakal berubah, minta maaf dan bersikap romantis setelah berkata atau berperilaku kasar, tapi besoknya mengulang perbuatan yang sama. Sebab, pelaku KDRT biasanya menggunakan pola ini sehingga korban jadi sulit untuk keluar dari relasi yang penuh kekerasan.

Relasi yang harmonis dan setara bisa terwujud ketika laki-laki dan perempuan sama-sama berdaya. Pentingnya mengendalikan emosi, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin hingga kemandirian finansial adalah sesuatu yang juga harus dikuasai oleh perempuan untuk mengurangi ketergantungannya pada laki-laki. 

Catatan: 

Data terbaru yang dari Komnas Perempuan (CATAHU 2022) yang dirilis pada 8 Maret 2022 menunjukkan adanya peningkatan laporan kekerasan terhadap perempuan sebesar 50% dari tahun 2020, . KDRT dengan istri sebagai korban masih menempati urutan pertama. Jumlah tersebut bisa jadi masih bertambah lagi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun