Riwayat kejayaan industri gula Tanah Air yang bermula sejak tahun 1800-an sejatinya tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan sistem cultuur stelsel (sistem tanam paksa) yang dicetuskan oleh Johannes Van Den Bosch dengan tujuan untuk mengisi kekosongan kas pemerintah kolonial yang terkuras akibat Perang Jawa tahun 1825-1830.Â
Aturan dari tanam paksa ini adalah semua desa harus menyisihkan sebanyak seperlima dari tanah yang dimiliki untuk ditanami tanaman-tanaman komoditi ekspor, seperti indigo (nila), teh, kopi, tembakau dan tebu.Â
Sistem tanam paksa kemudian dihentikan pada tahun 1870. Sebagai gantinya, diterbitkan Agrarische Wet (UU Agraria) dan Suiker Wet (UU Gula).Â
Dua undang-undang inilah yang kemudian menjadi tonggak liberalisasi Jawa sekaligus menghapuskan monopoli pemerintah kolonial atas pertanian dan perkebunan rakyat.Â
Akibatnya, rakyat menjadi buruh di tanahnya sendiri sementara juragannya adalah pemilik modal yang mendirikan perusahaan di tanah rakyat.Â
UU Gula secara resmi menghapuskan budidaya tebu dan pabrik gula yang dilakukan dan dikelola oleh pemerintah kolonial sejak era tanam paksa. Sementara UU Agraria memberi kepastian hukum bahwa yang berhak memiliki tanah di Hindia Belanda adalah kaum bumiputera.Â
Orang asing atau swasta asing terlarang memiliki tanah di daerah jajahan, tapi boleh menyewa, termasuk untuk kepentingan mendirikan perusahaan. Namun, undang-undang ini tidak berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan daerah vorstenlanden (tanah para raja).Â
Sekilas Riwayat Pabrik Gula di Yogyakarta
Nama PG Madukismo tentu sudah tidak asing di telinga warga Yogyakarta. Pabrik gula yang terletak di Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta itu menjadi satu-satunya pabrik gula di Yogyakarta yang masih beroperasi sampai hari ini.Â
Di era kolonial, Yogyakarta memiliki 19 pabrik gula yang tersebar di Kabupaten Bantul, Sleman dan Kulonprogo. Tak mengherankan jika pada waktu itu Yogyakarta termasuk dalam "The Land of Sugar".
Sayangnya, dari 19 pabrik gula tersebut, yang tersisa saat ini hanya PG Madukismo (sebelumnya bernama PG Padokan). Lainnya sudah hancur sejak masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik.Â