Ketika ada laki-laki lebih ahli dalam memasak, seharusnya itu tidak masalah. Lagi pula, koki-koki di hotel bintang lima, restoran, kapal pesiar, kebanyakan justru laki-laki.
2. Literasi keuangan
Memiliki literasi keuangan yang baik akan sangat membantu kita dalam mengatur, merencanakan dan membuat keputusan keuangan yang tepat.Â
Sayangnya, meski tingkat inklusi keuangan kita sudah tinggi, yaitu 81,4% pada tahun 2020, tingkat literasi keuangan masyarakat kita masih di angka 38%. Tingkat literasi keuangan generasi muda Tanah Air pun hanya 37,72%, masih kalah dengan negara tetangga.
Literasi keuangan yang perlu dipahami antara lain meliputi pengetahuan tentang produk dan layangan keuangan lengkap dengan manfaat dan risikonya, tabungan dan investasi, dana darurat, dana pensiun, manajemen utang-piutang, mengelola dan membuat perencanaan keuangan, kiat-kiat meningkatkan pendapatan dan lain-lain.Â
Menjadi orang yang melek keuangan tidak hanya membuat kondisi keuangan lebih sehat tapi juga membantu mewujudkan financial freedom dan berpotensi memutus rantai sandwich generation. Gak mau kan kalau di masa tua kelak kita malah bergantung secara finansial dan menyulitkan anak-anak kita?
3. Kesehatan mentalÂ
Di kalangan milenial dan gen Z, topik kesehatan mental bukan sesuatu yang asing. Kesadaran mereka akan isu kesehatan mental lebih baik dibanding generasi sebelumnya.Â
Kesehatan mental, meski tidak kelihatan, nyatanya memang penting. Kondisi mental yang tidak sehat juga bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik maupun aktivitas kita sehari-hari.Â
Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita membekali diri dengan pengetahuan dasar tentang kesehatan mental, terutama macam-macam masalah kesehatan mental, mengenali trauma, cara menjaga kesehatan mental, akses ke layanan kesehatan mental dan bagaimana cara bersikap terhadap orang yang punya masalah kesehatan mental.
4. Berpikir kritisÂ
Sebenarnya kemampuan berpikir kritis bisa didapat di sekolah atau kampus, tapi kurang maksimal. Guru masih diposisikan sebagai "yang selalu lebih tahu" sehingga proses belajar-mengajar lebih banyak dijalankan dengan metode ceramah dibanding diskusi, observasi, eksperimen atau cara-cara yang lebih menumbuhkan kekritisan dan kreativitas peserta didik.Â
Padahal berpikir kritis adalah salah satu kemampuan penting yang wajib dikuasai di abad ke-21 ini.Â