Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Remaja Citayam dan Kebutuhan Masyarakat Akan Ruang Publik yang Inklusif

22 Juli 2022   10:24 Diperbarui: 23 Juli 2022   09:15 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pedestrian Malioboro sebagai contoh ruang publik yang dikelola oleh pemerintah-dokpri Luna Septalisa

Sekelompok anak muda Citayam dan Bojong Gede tampak berseliweran di kawasan SCBD dan Taman Dukuh Atas dengan gaya street fashion-nya yang unik. 

Aktivitas mereka ini tak ayal menjadi viral dan menuai tanggapan beragam. 

Ada yang mendukung dengan beralasan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan bentuk kreativitas dan ekspresi anak muda. 

Ada yang berkomentar sinis dan menilai mereka sebagai anak-anak alay yang meresahkan. Dan ada pula yang menganggap ini sebagai tanda kurangnya ruang publik yang memfasilitasi mereka untuk mengekspresikan diri. 

Terlepas dari apapun alasan maupun tanggapan orang-orang, sebenarnya apa itu ruang publik dan sepenting apakah keberadaannya bagi masyarakat?

Ruang Publik 

Dikutip dari Wikipedia, yang dimaksud dengan ruang publik adalah areal atau tempat di mana masyarakat atau komunitas dapat berkumpul untuk meraih tujuan yang sama dan berbagi permasalahan, baik pribadi maupun kelompok. 

Ruang publik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu ruang publik nyata (real space) dan ruang publik maya (virtual space). Ruang publik nyata bisa berupa taman kota, gedung atau balai pertemuan, lapangan olahraga dan sebagainya. 

Sementara ruang publik maya bisa berupa grup percakapan di WhatsApp, Facebook, LINE atau yang sedang tren sekarang adalah metaverse. 

Kompasiana pun bisa dikategorikan sebagai ruang publik maya sebab di sini kita dapat berinteraksi dengan para Kompasianer dari berbagai daerah dan latar belakang. Bahkan dari interaksi inilah terbentuk komunitas-komunitas yang menyatukan Kompasianer dengan yang memiliki kesamaan minat serta visi dan misi. 

Ada pula yang membagi ruang publik berdasarkan pencetusnya, yaitu ruang publik spontan dan ruang publik yang didukung pemerintah. 

Ruang publik spontan tercipta atas inisiatif masyarakat, sedangkan ruang publik yang didukung pemerintah---sesuai dengan namanya---memiliki standar tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.

ilustrasi pedestrian Malioboro sebagai contoh ruang publik yang dikelola oleh pemerintah-dokpri Luna Septalisa
ilustrasi pedestrian Malioboro sebagai contoh ruang publik yang dikelola oleh pemerintah-dokpri Luna Septalisa

Pedestrian kawasan Malioboro adalah contoh ruang publik di Yogyakarta yang didukung oleh pemerintah. Ruang publik jenis ini biasanya juga ditujukan untuk mendukung pariwisata. Oleh karena itu, ia ditata, dipelihara dan dipercantik sedemikian rupa dengan penyediaan kantong-kantong parkir di tempat tertentu, relokasi PKL ke Teras Malioboro 1, 2 dan Slasar Malioboro serta adanya bangku-bangku di sepanjang trotoar dari depan Hotel Ina Garuda sampai perempatan KM 0. 

Eksistensi Ruang Publik 

Menurut UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni ruang publik, dikatakan dapat berupa Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) dan Ruang Terbuka Non Hijau Publik (RTNHP), dengan proporsi sebesar 30% dari luas wilayah kota. 

Peraturan Menteri (Permen) PU Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan juga merinci proporsi 30% tersebut menjadi 20% RTHP dan 10% RTH privat. 

Sayangnya, penerapan aturan tersebut masih jauh dari standar. 

Data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta mencatat jumlah RTH di DKI Jakarta mencapai 3.131, yang meliputi taman kota, taman lingkungan, taman interaktif dan jalur hijau jalan. RTH terbanyak berada di wilayah Jakarta Pusat dengan 913 RTH. 

Meski ketersediaan RTH hampir merata di seluruh wilayah DKI Jakarta, jumlahnya hanya 9,98% dari total luas wilayah. Sementara di daerah penyangga Ibukota, persentase RTH hanya 6-7% dari total luas wilayah. Masih sangat jauh dari standar 30%. 

Minimnya ketersediaan ruang publik tidak hanya menjadi masalah bagi masyarakat di wilayah Jabodetabek. 

Kota Yogyakarta, dengan luas wilayah 3.250,01 hektare, luas RTH hanya 18% dari luas wilayah. Eksistensinya pun dalam beberapa tahun terakhir semakin terdesak oleh pembangunan hotel, kafe maupun perumahan penduduk. Akibatnya, RTH yang berada di tengah kota mulai terdesak ke daerah sub-urban atau daerah pinggiran. 

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi DI Yogyakarta mengatakan bahwa luas total RTH Kota Yogyakarta sebesar 579 hektare itu tersebar di 840 titik. Itu pun yang luas areanya lebih dari 5 hektare hanya ada di 9 titik. 

Salah satu boulevard atau jalur hijau Kota Baru di Jalan Suroto, Kota Yogyakarta-foto oleh Tempo/Pito Agustin Rudiana
Salah satu boulevard atau jalur hijau Kota Baru di Jalan Suroto, Kota Yogyakarta-foto oleh Tempo/Pito Agustin Rudiana

RTH terluas adalah RTH Jalur Hijau Kota Baru dengan luas mencapai 11 hektare. Sementara sebanyak 75% titik RTH yang ditemukan, luasnya kurang dari 1 hektare yang sebagian besarnya merupakan RTH privat, seperti pekarangan rumah warga. 

Manfaat dan Masalah Terkait Ruang Publik 

Ruang publik memiliki beragam fungsi, baik secara ekologis, sosial maupun ekonomi. 

Tanaman dan pohon-pohon yang ada di RTHP berfungsi sebagai pembersih udara dari asap kendaraan bermotor. 

RTHP juga bisa berfungsi sebagai daerah resapan dan konservasi air (entah air hujan terserap oleh akar-akar tumbuhan atau tertampung di embung, rawa atau telaga kota) sehingga mengurangi risiko terjadinya banjir. 

RTHP Embung Langensari di Kec.Gondokusuman, yang dijadikan daerah konservasi air di wilayah Kota Yogyakarta-dokpri Luna Septalisa
RTHP Embung Langensari di Kec.Gondokusuman, yang dijadikan daerah konservasi air di wilayah Kota Yogyakarta-dokpri Luna Septalisa

Secara sosial, ruang publik memiliki fungsi sebagai tempat rekreasi berbiaya murah yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas dan bersosialisasi, seperti berolahraga, mengadakan arisan, belajar kelompok, tempat bermain bagi anak-anak maupun sekadar duduk-duduk santai melepas penat. 

RTHP yang dikelola oleh masyarakat pun bisa memiliki fungsi ekonomis yang menyejahterakan masyarakat sekitar apabila ditanami oleh jenis tanaman tertentu yang bernilai jual menjanjikan. 

Namun, ruang publik kita tak luput dari beberapa masalah, termasuk yang disebabkan oleh perilaku masyarakat, seperti kebersihan dan keamanan. 

Ruang publik di tengah kota juga sering tergusur oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan, di mana pembangunan tersebut sering kali hanya menguntungkan pemilik modal. 

Di wilayah Kota Yogyakarta, misalnya, masalah ini beberapa kali menyulut konflik dengan warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan. Dan saya yakin masalah serupa dialami pula oleh masyarakat di daerah lain di Indonesia. 

Fenomena remaja Citayam seharusnya dapat dijadikan alarm peringatan betapa wilayah Jabodetabek masih belum mampu menyediakan ruang publik yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat (meski Pemda setempat menyangkal fakta ini). Luasan RTHP di wilayah Jabodetabek pun masih kalah jumlah dengan pusat perbelanjaan.

Kalau mau ngeyel dengan mengatakan pusat perbelanjaan atau kafe termasuk ruang publik, memang siapa aja sih yang bisa mengaksesnya? Mayoritas yang datang paling-paling masyarakat urban kelas menengah ke atas kan? Lalu, di mana nilai inklusivitas atau kesetaraannya, jika ruang publik hanya bisa diakses oleh kelompok masyarakat tertentu? 

Wasana Kata 

Ketersediaan ruang publik yang inklusif adalah hak setiap masyarakat di suatu wilayah. 

Ruang publik yang inklusif artinya adalah ruang yang memungkinkan bagi setiap orang untuk dapat berkegiatan sesuai kebutuhannya, terlepas dari apapun latar belakang sosial, ekonomi dan budayanya. 

Selain itu, ruang publik juga harus terbuka dan ramah bagi beragam kondisi fisik manusia alias jangan cuma ramah bagi mereka yang able-bodied. 

Bahkan, keberadaan RTHP menjadi salah satu syarat dari pembangunan kawasan perkotaan yang berkelanjutan. 

Saya pikir fenomena remaja Citayam juga bisa dijadikan pelajaran bagi dunia planologi untuk berfokus pada perencanaan dan tata kota yang lebih berempati pada kebutuhan sesama manusia maupun lingkungan. 

Referensi: 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun