Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Indonesia baru saja kehilangan putra terbaiknya. Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang ulama, cendekiawan dan guru bangsa, telah wafat pada hari Jumat, 27 Mei 2022 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Jenazahnya disalatkan di Masjid Gedhe Kauman dan dikebumikan di kompleks Pemakaman Muhammadiyah di Dusun Donomulyo, Nanggulan, Kulonprogo.
Hingga akhir hayatnya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 ini tetap rajin menulis di berbagai media, menjadi pembicara dalam seminar atau forum diskusi dan aktif memperjuangkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Selain di media massa, jejak pemikiran Buya Syafii dapat ditelusuri melalui beberapa buku karyanya, seperti Percaturan Islam dan Politik-Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), Memoar Seorang Anak Kampung (2013), Fikih Kebhinekaan (2015) dan lain-lain.
Perjalanan dan aktivisme intelektual Buya Syafii inilah yang kemudian dijadikan landasan pendirian MAARIF Institute for Culture and Humanity (2003), sebuah lembaga yang menitikberatkan komitmen perjuangannya pada ranah keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan. Atas karya intelektual dan kemanusiaannya ini, beliau dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina pada tahun 2008.
Pemikiran dan Sikap Buya Syafii Maarif
Buya Syafii adalah ulama lintas zaman. Beliau lahir sepuluh tahun sebelum kemerdekaan, menjalani masa muda di zaman Soekarno, dewasa di zaman Soeharto, menua kemudian wafat di zaman reformasi. Oleh karena itu, beliau paham betul bagaimana perkembangan sejarah, politik dan keislaman di negeri ini.
Tulisan beliau di Kompas yang berjudul Pesan untuk Muhammadiyah dan NU, misalnya, berisi kekhawatiran akan tangan-tangan jahil yang ingin mengusik kedamaian umat, terutama dari kelompok-kelompok yang menggunakan tameng agama dalam menjalankan aksinya.Â
Beliau juga menyelipkan harapan agar NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi besar Islam bisa menjadi representasi wajah Islam yang ramah, cinta damai, toleran, mengayomi dan inklusif. Jangan sampai generasi baru dari kedua kelompok ini mudah dipengaruhi oleh ideologi Islam transnasional dengan kebenaran tunggalnya sehingga saling bertengkar akibat salah paham yang tidak perlu.
Ulama yang dijuluki "Pendekar Chicago" oleh Gus Dur ini juga punya kepedulian pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Beliau memberi dukungan pada literatur-literatur yang ditulis oleh para feminis muslim, seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin.Â
Apresiasi yang sama beliau tujukan pula kepada ulama-ulama feminis Tanah Air, seperti Prof. Nasaruddin Umar dan KH Husein Muhammad, atas keberanian dan kiprahnya dalam meramaikan kajian gender Islam.
Dalam buku Ibu Kemanusiaan: Catatan-catatan Perempuan untuk 86 Tahun Buya Syafii Ma'arif, disebutkan mengenai bagaimana seorang Buya Syafii Maarif memandang dan memperlakukan perempuan.Â