Kemudian ada mitos yang mengatakan kalau nyeri haid dapat membuat seorang perempuan infertil atau mandul sehingga sering disarankan untuk segera menikah. Ini tidak sepenuhnya benar karena kita harus tahu dulu, nyeri seperti apa yang dirasakan. Nyeri haid yang menyebabkan kemandulan adalah apabila nyeri tersebut timbul karena endometriosis.
Selain nyeri atau kram perut, ada juga perempuan yang mengalami keluhan yang lebih parah, seperti pinggul dan selangkangan yang pegal, kelelahan meski tidak melakukan aktivitas apapun, muntah-muntah, diare dan pusing.
Ketidakpekaan dan ketidakpahaman terhadap pengalaman reproduksi perempuan menyebabkan pekerja perempuan yang meminta cuti haid dianggap manja. Dikira mereka minta cuti haid cuma modus biar bisa bermalas-malasan. Itu sebabnya meski sudah diatur dalam undang-undang, sebagian perusahaan enggan memberi izin.
Kalau pun diberi izin, kadang dengan risiko potong gaji. Pekerja perempuan juga sering bingung harus memberi alasan apa kalau mau izin. Mau izin dengan alasan sakit bakal dimintai surat keterangan dokter. Mau bilang terus terang kalau nyeri haid membuatnya tidak bisa leluasa beraktivitas tapi malu dan takut dimarahi atasan.Â
Akibatnya, pekerja perempuan terpaksa tetap masuk kerja sambil menahan nyeri haid yang luar biasa. Padahal memaksakan diri untuk bekerja dengan kondisi seperti itu dapat membahayakan dirinya. Seperti yang dialami oleh Erlitha, di mana ia mengalami pendarahan hebat karena tetap bekerja meski sebenarnya tidak kuat menahan rasa nyeri yang begitu parah.
Cuti Haid Bukan Tanda Kelemahan Pekerja Perempuan
Meski ide tentang cuti haid disambut baik, ternyata ada juga yang kontra karena dianggap turut membenarkan stigma negatif menstruasi. Perempuan yang sedang menstruasi akan mengalami perubahan kondisi psikologis menjadi lebih emosional. Belum lagi keluhan-keluhan fisik saat menstruasi yang membuat perempuan tidak dapat beraktivitas seleluasa biasanya.
Dua hal inilah yang juga kerap dijadikan alasan untuk menolak pekerja perempuan menduduki posisi-posisi strategis di perusahaan. Seolah menstruasi membuat pemimpin perempuan lebih emosional, lemah dan kurang produktif sehingga tidak mampu berpikir rasional dan menjalankan fungsinya sebagai pengambil keputusan.
Sementara pihak yang pro menganggap pemberian hak cuti haid sebagai wujud kesetaraan dan penghormatan atas kondisi biologis pekerja perempuan yang berbeda dengan pekerja laki-laki.Â
Pemberian hak cuti haid justru tidak hanya menguntungkan pekerja perempuan tapi juga perusahaan. Pekerja perempuan akan merasa lebih dihargai dan kepuasan kerja meningkat sehingga termotivasi untuk bekerja lebih baik.
Hal ini didukung oleh laporan yang diterbitkan oleh Standard Chartered Bank tahun 2021 yang dikutip oleh bbc.com, menunjukkan bahwa 25% dari 2.400 responden menyebut gejala haid yang mereka alami, kurangnya kesadaran dan dukungan dari atasan maupun rekan kerja membuat kemungkinan untuk resign lebih besar. Faktor yang sama juga memungkinkan sekitar 22% responden lainnya untuk pensiun seutuhnya.Â