Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sudahkah Kampus Menjamin Kebebasan Akademik?

11 Mei 2022   12:26 Diperbarui: 12 Mei 2022   02:05 1608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pembungkaman pers mahasiswa-sumber gambar: edosegara.blogspot.com diunduh dari news.okezone.com

Mengutip dari Wikipedia, yang dimaksud dengan kebebasan akademik atau academic freedom adalah konsep moral dan hukum yang menyatakan pentingnya kebebasan bagi akademisi dan peneliti untuk melakukan penyelidikan ilmiah dalam rangka mewujudkan misi perguruan tinggi dan prinsip-prinsip akademik. 

Dengan kata lain, kebebasan akademik harus dapat menjamin kebebasan bagi akademisi dan peneliti untuk mengajar atau mengomunikasikan gagasan atau fakta (termasuk hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan bagi kelompok politik tertentu atau otoritas yang berkuasa) tanpa rasa takut akan mengalami penindasan, kehilangan pekerjaan atau pemenjaraan.

Di Indonesia, kebebasan akademik dilindungi undang-undang, seperti Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat dan Pasal 8 ayat (1) UU Dikti. 

Berdasarkan peraturan tersebut, cakupan kebebasan akademik tidak hanya berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar yang terjadi di dalam kelas atau lingkungan kampus. Kegiatan di luar aktivitas kelas (non akademik) apabila tetap bersifat ilmiah dalam pendidikan tinggi, seluruh civitas akademika (baik mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan) yang bersangkutan tetap harus dilindungi oleh konsep kebebasan akademik. (2)

Sayangnya, ini Indonesia. Kebebasan akademik hanya fatamorgana. Regulasi yang tampak apik di atas kertas, mlempem dalam implementasinya.

Ketika Dunia Akademik Alergi Terhadap Pemikiran Kritis

ilustrasi pembungkaman pers mahasiswa-sumber gambar: edosegara.blogspot.com diunduh dari news.okezone.com
ilustrasi pembungkaman pers mahasiswa-sumber gambar: edosegara.blogspot.com diunduh dari news.okezone.com
Pada Mei 2020 lalu, guru besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Ni'matul Huda diteror setelah dikabarkan bahwa beliau menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" yang digelar oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum UGM. Teror yang sama juga dialamatkan kepada mahasiswa FH UGM selaku panitia penyelenggara. Diskusi dibubarkan dan tuduhan makar diarahkan pada mereka. (3)

Ketika sedang heboh perihal Revisi UU KPK, ancaman skorsing dari rektor UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), UK Duta Wacana dan Universitas Sanata Dharma terkait imbuan Menristekdikti M.Nasir menghantui mahasiswa yang terlibat aksi demonstrasi menolak revisi UU tersebut. (4)

Sikap anti kritik rupanya masih ada di lingkungan kampus yang notabenenya berisi para cerdik cendekia.

Adalah Syaiful Mahdi, seorang dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang didakwa atas kasus pencemaran nama baik karena kritiknya atas hasil penerimaan CPNS 2018 di Fakultas Teknik. Gara-gara kritiknya itu, Syaiful Mahdi divonis 3 bulan penjara, denda Rp 10 juta dan subsider 1 bulan penjara. (5)

Represi atas kebebasan akademik juga kerap menyasar pers mahasiswa karena tulisan-tulisannya. (6)

Pada tahun 2019, rektor Universitas Sumatera Utara (USU) memecat seluruh pengurus Suara USU karena memuat cerpen bertema LGBT. Lima belas tahun sebelumnya, intimidasi dan penyerangan terhadap kantor redaksi Suara USU terjadi setelah mereka menulis laporan utama tentang alokasi dana kemahasiswaan yang tidak jelas kemana larinya.

Kekritisan pers mahasiswa dalam tulisannya memang tidak selalu bisa diterima oleh otoritas kampus. Hal inilah yang terjadi pada penulis dan editor Balairung (pers UGM) setelah merilis laporan kasus "Agni" (bukan nama sebenarnya), mahasiswi UGM korban pelecehan seksual temannya saat KKN. Berita itu ternyata berbuah pemanggilan oleh polisi terhadap si penulis dan editor.

Orde Baru dengan kebencian dan paranoia akan kebangkitan PKI ternyata telah berhasil "mencuci otak" rakyat. PKI memang tinggal nama dan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Namun, haruskah kebencian dan paranoia itu diekspresikan dengan menarik dan melarang peredaran Majalah Lentera milik UK Satya Wacana hanya karena menulis sejarah peristiwa 1965 di Salatiga?

Majalah Lentera bukan satu-satunya yang bernasib demikian. 

Buku-buku "kiri" dirazia aparat. Diskusi-diskusi akademik bertema sejarah peristiwa 1965 kerap dibubarkan paksa. Semua dengan tuduhan sama: "menginginkan kebangkitan PKI" sehingga dianggap berbahaya dan harus dihentikan. Semenakutkan itukah, sedangkan kami hanya ingin belajar sejarah bangsa sendiri agar tidak lagi mengulang kesalahan masa silam?

Tidak Hanya di Perguruan Tinggi

Kebebasan akademik kita sebetulnya sudah bermasalah sejak lama. Anda yang menjadi mahasiswa di zaman Orba pasti lebih tahu bagaimana rezim saat itu berupaya membungkam suara-suara kritis mahasiswa.

Pengekangan terhadap kebebasan akademik bahkan sudah ada sejak pendidikan dasar. 

Metode pengajaran yang satu arah, menekankan pada hafalan bukan pemahaman konsep dan guru yang bersikap lebih tahu segalanya, adalah contoh dari pengekangan kebebasan akademik di tingkat sekolah. Siswa pun tidak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi cara belajar apa yang paling cocok bagi mereka.

Penekanan pada hafalan membuat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis-analitis siswa terhambat. Jadi, jangan kaget ketika dosen atau atasan mereka kelak mengeluh karena kemampuan berpikir kritis-analitis mereka yang payah.

Wasana Kata

Kebebasan akademik merupakan salah satu kunci kemajuan perguruan tinggi. Kampus seharusnya mampu menciptakan ruang aman yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengajaran, penelitian, diskusi, proyek-proyek sosial kemasyarakatan adalah bagian dari tradisi keilmuan pendidikan tinggi yang seharusnya dipelihara. Dengan demikian kampus bisa menjadi role model dalam dunia akademik dan berkontribusi nyata, baik bagi civitas akademika maupun masyarakat luas.

Kebebasan akademik bisa terwujud ketika semua pihak sama-sama mau memahami, menghormati dan belajar untuk menjadi lebih baik. Suatu tulisan, diskusi, aksi demonstrasi atau kegiatan-kegiatan non akademik yang bermuatan edukasi seharusnya dipandang sebagai ekspresi intelektual dan dikritisi pula secara intelek, bukan dihakimi dengan standar moral yang hitam putih.

Selama civitas akademika masih dihantui ketakutan akan penindasan, kehilangan pekerjaan atau pemenjaraan karena aktivitas dan ekspresi intelektualnya, kebebasan akademik masih jadi angan-angan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun