Pada tahun 2019, rektor Universitas Sumatera Utara (USU) memecat seluruh pengurus Suara USU karena memuat cerpen bertema LGBT. Lima belas tahun sebelumnya, intimidasi dan penyerangan terhadap kantor redaksi Suara USU terjadi setelah mereka menulis laporan utama tentang alokasi dana kemahasiswaan yang tidak jelas kemana larinya.
Kekritisan pers mahasiswa dalam tulisannya memang tidak selalu bisa diterima oleh otoritas kampus. Hal inilah yang terjadi pada penulis dan editor Balairung (pers UGM) setelah merilis laporan kasus "Agni" (bukan nama sebenarnya), mahasiswi UGM korban pelecehan seksual temannya saat KKN. Berita itu ternyata berbuah pemanggilan oleh polisi terhadap si penulis dan editor.
Orde Baru dengan kebencian dan paranoia akan kebangkitan PKI ternyata telah berhasil "mencuci otak" rakyat. PKI memang tinggal nama dan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Namun, haruskah kebencian dan paranoia itu diekspresikan dengan menarik dan melarang peredaran Majalah Lentera milik UK Satya Wacana hanya karena menulis sejarah peristiwa 1965 di Salatiga?
Majalah Lentera bukan satu-satunya yang bernasib demikian.Â
Buku-buku "kiri" dirazia aparat. Diskusi-diskusi akademik bertema sejarah peristiwa 1965 kerap dibubarkan paksa. Semua dengan tuduhan sama: "menginginkan kebangkitan PKI" sehingga dianggap berbahaya dan harus dihentikan. Semenakutkan itukah, sedangkan kami hanya ingin belajar sejarah bangsa sendiri agar tidak lagi mengulang kesalahan masa silam?
Tidak Hanya di Perguruan Tinggi
Kebebasan akademik kita sebetulnya sudah bermasalah sejak lama. Anda yang menjadi mahasiswa di zaman Orba pasti lebih tahu bagaimana rezim saat itu berupaya membungkam suara-suara kritis mahasiswa.
Pengekangan terhadap kebebasan akademik bahkan sudah ada sejak pendidikan dasar.Â
Metode pengajaran yang satu arah, menekankan pada hafalan bukan pemahaman konsep dan guru yang bersikap lebih tahu segalanya, adalah contoh dari pengekangan kebebasan akademik di tingkat sekolah. Siswa pun tidak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi cara belajar apa yang paling cocok bagi mereka.
Penekanan pada hafalan membuat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis-analitis siswa terhambat. Jadi, jangan kaget ketika dosen atau atasan mereka kelak mengeluh karena kemampuan berpikir kritis-analitis mereka yang payah.
Wasana Kata
Kebebasan akademik merupakan salah satu kunci kemajuan perguruan tinggi. Kampus seharusnya mampu menciptakan ruang aman yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengajaran, penelitian, diskusi, proyek-proyek sosial kemasyarakatan adalah bagian dari tradisi keilmuan pendidikan tinggi yang seharusnya dipelihara. Dengan demikian kampus bisa menjadi role model dalam dunia akademik dan berkontribusi nyata, baik bagi civitas akademika maupun masyarakat luas.