Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membaca dan Memahami Kartini dari Berbagai Sudut Pandang

21 April 2022   13:42 Diperbarui: 21 April 2022   20:09 1897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RA Kartini dan adik-adiknya. Sumber: Kompas.com

Sebenarnya Indonesia punya banyak pahlawan perempuan, baik yang berjuang di medan perang maupun yang berjuang dengan pemikiran. Namun, dari sekian banyak pahlawan perempuan yang kita kenal, mengapa hanya Kartini yang hari kelahirannya diperingati secara khusus oleh masyarakat Indonesia?

Berbagai tulisan mempertanyakan dan mengkritisi titel pahlawan emansipasi yang selama ini disematkan pada Kartini.

Kita tahu bahwa Kartini dikenal memiliki keinginan besar untuk bisa mengenyam pendidikan dan mendirikan sekolah meski cita-cita tersebut gagal.

Memang, saat itu berdiri Sekolah Kartini, tapi Kartini bukan pendirinya. Adalah Conrad T. van Deventer, seorang juru bicara Politik Etis dan anggota Parlemen Belanda, yang berada di balik pendirian Sekolah Kartini. Lagipula, sekolah itu baru berdiri tahun 1913 atau 9 tahun setelah wafatnya Kartini.

Di Jawa Barat malah telah lebih dulu berdiri Sakola Istri yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1903. Selain mendirikan sekolah, Dewi Sartika juga menulis buku berbahasa Sunda yang berjudul "Kaoetamaan Istri" pada tahun 1911 dan diterbitkan tahun 1912.

Ketika perempuan Jawa masih terbelenggu adat pingitan, perempuan-perempuan di Sulawesi Utara lebih merdeka untuk bersekolah dan berorganisasi. Dua tahun setelah Kartini lahir, di Tomohon telah berdiri sekolah berasrama bagi anak perempuan yang disponsori oleh seorang pendeta Belanda, Ds. Jan Louwerier. Meski didirikan oleh orang Belanda, kesadaran para perempuan Tomohon untuk berpendidikan sudahtinggi.

Tahun 1867 dibentuklah sebuah organisasi perempuan bercorak agama yang bernama Perkumpulan Perempuan Kristen Tondano. Baru pada tahun 1918,  Walanda Maramis, seorang pribumi Minahasa, mendirikan Sekolah Kepandaian Puteri (PIKAT).

ilustrasi selamat hari kartini 2022-sumber foto: dok.Kominfo diunduh dari suaramerdeka.com
ilustrasi selamat hari kartini 2022-sumber foto: dok.Kominfo diunduh dari suaramerdeka.com

Dalam surat-suratnya, Kartini beberapa kali menyatakan bahwa ia membenci poligami. Seperti yang tertulis dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada 6 November 1899 berikut.

"Aku sekali-kali tiada dapat menaruh cinta. Kalau hendak cinta, pada pendapatanku haruslah ada rasa hormat dahulu. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya mengatakan itu dosa." 

Sementara dalam suratnya yang lain, yaitu kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri tahun 1901, Kartini mengeluh, "Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa kembali atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami". 

Namun, sekeras apapun Kartini membenci poligami dan menentang perjodohan, pada akhirnya ia tetap menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, yang sudah beristri tiga dan memiliki anak. Tidak heran jika kemudian orang berpikir bahwa keputusannya menerima perjodohan dan pernikahan ini bertentangan dengan isi surat-suratnya.

Sampai di sini, pertanyaan mencuat, apakah Kartini masih bisa disebut sebagai feminis atau pahlawan emansipasi?

Selain yang berkaitan dengan pendidikan dan emansipasi, berbagai sumber di internet juga membahas tentang keislaman Kartini. Narasinya adalah mengenai perjalanan spiritualitas Kartini dalam menemukan Islam.

Kartini sempat mengungkapkan kekecewaan dalam salah satu suratnya kepada Stella Zeehandelaar betapa para pemuka agama pada saat itu hanya mengajarkan cara membaca Al-Quran tanpa tahu artinya sehingga orang jadi tidak bisa memahami Islam dan kitab yang dibacanya. Bagi Kartini ini sesuatu yang gila.

Dituliskan pula bahwa Kartini akhirnya menemukan Islam setelah mendengar tafsir Surat Al-Fatihah yang disampaikan oleh Kyai Sholeh Darat dalam suatu pengajian. Kyai Sholeh Darat juga memberikan kitab tafsir Al-Quran sebagai hadiah pernikahan Kartini.

Pertanyaan menarik lainnya adalah, apakah Kartini seorang nasionalis?

Sebab ia begitu menyanjung peradaban Eropa yang memberikan banyak kebebasan kepada perempuan. Bukan seperti adat Jawa yang membuatnya harus dipingit hingga datang laki-laki yang melamarnya. Atau aturan yang melarang perempuan tertawa terbahak-bahak. Kalau bicara harus dengan suara lemah lembut macam orang berbisik. Begitu pula dengan cara berjalan yang gemulai dan pelan sekali seperti siput.

Namun, benarkah seandainya saya katakan bahwa Kartini mengalami perubahan pemikiran? Atau saya katakan saja bahwa Kartini memang menyanjung peradaban Eropa, bahkan berkawan dengan orang-orang Belanda, tapi tetap kritis terhadap pengetahuan yang ia terima?

Misalnya dalam suratnya kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri tertanggal 27 Oktober 1902 berikut.

"Maafkan kami mengatakan hal itu. Tetapi sempurnakah masyarakat Eropa menurut pendapat nyonya? Kamilah barangkali yang paling akhir, yang tidak akan mengakui dengan rasa syukur kebaikan dalam dunia nyonya yang banyak, sangat banyak. Tetapi apakah nyonya akan mengingkari, bahwa banyak sesuatu yang bagus, besar dan luhur dalam masyarakat nyonya yang acap kali bertentangan dan justru menjadi bahan cemooh dalam peradaban?"

Kartini dengan Segala Kompleksitasnya

Kartini adalah perempuan dengan pedalaman pikiran dan batin yang kompleks. 

Itu kesan yang saya tangkap setelah membaca surat-suratnya yang terangkum dalam buku berjudul Emansipasi, Surat-surat kepada Bangsanya 1899-1904 (2018) yang diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno.

Kartini kerap mengkritisi adat-istiadat Jawa tapi akhirnya ia takluk jua.

Saat cita-citanya untuk sekolah di negeri Belanda bersama adiknya, Roekmini, dikabulkan, kedua gadis itu justru batal berangkat. Padahal antusiasmenya untuk bersekolah di sana begitu besar.

Beberapa bulan kemudian, Kartini akhirnya menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, yang ternyata adalah seorang penganut poligami. Suatu hal yang mati-matian ditentangnya selama ini.

Mengapa Kartini akhirnya lebih memilih pernikahan? Mungkinkah ia takut menyakiti keluarganya, terutama ayah yang begitu dicintainya?

Saya tiba-tiba teringat bagaimana Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Jejak Langkah (melalui penuturan tokoh utama, Minke) menyebut Kartini sebagai "gadis yang menjadi tahanan kasih sayang orangtuanya". Ya, kasih sayang yang teramat sangat memang bisa "membunuh" perlahan-lahan.

Apakah Kartini mengalah karena takut akan merusak ekspektasi keluarga dan masyarakat?

Terkait ini, Kartini hanya menyatakan bahwa ia takut kalau dengan kepergiannya ke negeri Belanda akan semakin menjauhkan dirinya dari lingkungan dan masyarakatnya. Ia tidak ingin dianggap sebagai perempuan Jawa yang keeropa-eropaan.

Kawannya, Stella Zeehandelaar bahkan menilai bahwa pembatalan keberangkatan dan pernikahan Kartini merupakan konspirasi pemerintah kolonial. Rencana studi Kartini dan Roekmini ke Belanda dinilai tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Mungkinkah pemerintah kolonial menganggap Kartini terlalu berani dan "berbahaya" sehingga harus dibungkam lewat pernikahan?

Tidak ada yang benar-benar tahu mengapa.

Yang jelas di balik pemikiran kritis dan jiwa pemeberontaknya, Kartini adalah orang yang tidak egois dan selalu menjaga perasaan orang lain.

Wasana Kata

Kartini dengan segala kompleksitasnya harus dibaca dan dipahami dari berbagai sudut pandang serta sesuai konteks zaman. Pemikiran-pemikirannya harus dibaca dan dipahami secara utuh.

Terlepas dari apapun perdebatan mengenai dirinya, kita tidak dapat menyangkal bahwa Kartini adalah ikon. Surat-suratnya adalah "harta karun sejarah" yang menjadi inspirasi bagi perjuangan kesetaraan sekaligus membuka jalan bagi terciptanya peradaban Indonesia yang lebih maju.

Saya berharap agar generasi sekarang dan yang akan datang tidak lagi meniru cara-cara rezim Orde Baru yang "men-Dharma-Wanita-kan Kartini", yaitu mencitrakan Kartini sebagai sosok berkebaya, bersanggul dengan peran sebatas di ranah domestik. 

Jangan salah paham, saya mengatakan ini bukan bermaksud merendahkan pekerjaan-pekerjaan domestik atau melecehkan peran Ibu Rumah Tangga. Hanya saja, Kartini lebih dari itu.

Referensi lain: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun