Lebaran masih sekitar 2 minggu lagi. Namun, antusiasme berburu baju lebaran sudah mulai tampak.
Mall-mall maupun online shop sibuk menawarkan berbagai model baju lebaran lengkap dengan diskon yang menarik minat konsumen. Ketika ada sale besar-besaran, kadang kita bisa menemukan baju, jilbab atau barang-barang fesyen yang dijual dengan harga murah. Bahkan murahnya kebangetan.
Kalau Anda menemukan baju yang dijual dengan harga semiring itu, apa yang Anda lakukan? Langsung borong atau malah skeptis kenapa harganya murah banget?
Apapun jawaban Anda, baju murah atau yang kelewat murah sebenarnya punya sejumlah fakta kelam di baliknya. Namun, sebelum sampai ke sana, mari kita awali pembahasan ini dengan kisah tragis dari Bangladesh.
Kisah tragis ini menimpa ribuan pekerja industri garmen di Dhaka, Bangladesh pada 2014 silam saat gedung di komplek pabrik Rana Plaza runtuh.
Rana Plaza merupakan sebuah ruko 8 lantai yang terdiri dari beberapa pabrik garmen, bank, toko dan lain-lain. Penyebab runtuhnya gedung sebenarnya berawal dari tidak mendapatkan izin kelayakan bangunan.
Sehari sebelum kejadian, para pekerja menemukan ada retakan di dinding yang menjalar dari lantai 5 hingga lantai 8. Mengetahui hal itu, para pekerja yang berada di dalam gedung segera keluar untuk menghindarkan diri dari kejadian yang tidak diinginkan. Namun, atasan mereka menyuruh mereka untuk kembali ke dalam dan melanjutkan pekerjaan demi memenuhi target produksi.
Rupanya retakan itu semakin dalam dan parah sehingga menyebabkan gedung Rana Plaza runtuh. Peristiwa tersebut menyebabkan kurang lebih 1.000 nyawa melayang dan meninggalkan trauma mendalam bagi mereka yang selamat.
Peristiwa runtuhnya Rana Plaza mengindikasikan secara jelas dan nyata adanya eksploitasi tenaga kerja.
Kecelakaan itu sebenarnya bisa dicegah dan diminimalisasi dampaknya jika perusahaan mau memperhatikan keamanan dan keselamatan kerja karyawannya. Namun, apa daya, demi pendapatan perusahaan, nyawa banyak orang harus dikorbankan.
Nasib tragis yang menimpa ribuan pekerja Rana Plaza bukan cerita baru dalam industri tekstil.
Seorang pekerja di Addis Ababa, Ethiopia, menceritakan kepada bbc.com tentang kondisi tempatnya bekerja yang tidak layak, seperti toilet yang kotor dan perlakuan kasar yang sering diterima pekerja. Upah minim, uang lembur yang pembayarannya ditunda-tunda dan pemeriksaan perut pelamar kerja perempuan untuk memastikan apakah dia hamil atau tidak, adalah hal lain yang juga terjadi di tempatnya bekerja.
Industri Fast Fashion dan Masalah Ketenagakerjaan
Fast fashion sendiri merupakan salah satu strategi bisnis dalam industri fesyen yang dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen akan barang-barang fesyen dalam jangka waktu yang cepat. Ia muncul sebagai respon atas kebutuhan gaya hidup berpakaian yang tidak ingin ketinggalan tren fesyen keluaran terbaru dari berbagai brand.Â
Hal ini kemudian memunculkan konsep fesyen "siap pakai" yang mengimplementasikan tren desainer nasional maupun internasional dalam bentuk pakaian atau barang fesyen lainnya dengan harga dan akses yang lebih terjangkau serta dalam jumlah massal.
Awalnya, fenomena fast fashion dianggap sebagai model bisnis yang inovatif dengan manajemen jaringan produksi dan distribusi yang efektif dan efisien. Namun, di kemudian hari ditemukan fakta bahwa model bisnis ini bermasalah secara kode etik bisnis, terutama masalah ketenagakerjaan dan lingkungan.
Peristiwa Rana Plaza dan pengalaman pekerja di Addis Ababa yang saya sebut di atas, secara tidak langsung turut mengonfirmasi data yang bersumber dari Global Fashion Agenda & The Boston Consulting Group dkk yang dilansir oleh katadata.com, bahwa sebanyak lebih dari 50% pekerja di industri fesyen berkonsep fast fashion tidak dibayar sesuai upah minimum. Angka kecelakaan kerja pun tergolong tinggi dengan rata-rata 5,6 kasus cedera per 100 pekerja per tahun.
Dampak Lingkungan dari Industri Fesyen
Industri fesyen ditengarai berkontribusi besar terhadap perubahan iklim. Ini terjadi karena industri fesyen membutuhkan sumber daya yang besar di setiap prosesnya sehingga menghasilkan emisi karbon yang tidak sedikit.
Sebagian besar bahan pakaian terbuat dari kapas (cotton) sehingga membutuhkan pasokan kapas yang besar. Untuk memproduksi  1 kg raw cotton dibutuhkan air sekitar 7.000-29.000 liter. Padahal untuk membuat sehelai pakaian, tidak mungkin kan kalau hanya pakai 1 kg kapas?
Setelah dipanen, kapas masih harus dipintal, diwarnai dan diproses hingga jadi sehelai pakaian. Proses ini sendiri menghabiskan 100-150 liter air untuk setiap 1 kg serat kapas.Â
Menurut laporan Komite Audit Lingkungan yang dibentuk oleh parlemen Inggris, untuk produksi 1 kemeja dan 1 celana jeans membutuhkan hingga 20.000 liter air. Jumlah ini, menurut mereka, sama saja dengan menghabiskan cadangan air bersih di Asia Tengah.
Itu baru proses memperoleh bahan baku dan produksi. Emisi karbon masih akan dihasilkan lagi dari proses transportasi, penjualan, pemakaian dan pembuangan.
Pakaian yang rusak, jarang dipakai, yang dikembalikan ke penjual tapi tidak dapat dijual kembali, seringkali dibuang sehingga menumpuk di TPA. Selain menimbulkan masalah lingkungan, hal ini memiliki potensi kerugian mencapai US$ 500 miliar per tahun.
Jadilah Konsumen Cerdas
Harga baju murah memang menggiurkan. Apalagi kalau kita suka model atau warnanya.
Namun, di balik harga murah atau terlalu murah, kita boleh kok skeptis kenapa bisa begitu. Apakah karena kualitasnya atau ada sederet masalah lain di baliknya, seperti upah pekerja yang jauh dari layak, pencemaran lingkungan dan sebagainya.
Hadeh, mau beli baju aja kok kudu mikir begitu sih? Malesin deh!
Ya gimana ya, masalahnya pola konsumsi kita yang keseringan belanja baju tuh turut memengaruhi kerja industri fesyen itu sendiri, termasuk juga orang-orang yang ada di baliknya. Ya, manajemennya, desainernya, petani kapas sampai buruh pabriknya. Dan jangan lupa juga kalau industri fesyen punya dampak lingkungan yang gak main-main.
Terus kalau udah telanjur gimana?
Rawatlah pakaian Anda baik-baik. Perhatikan cara mencuci, menyetrika, dan penyimpanannya agar lebih awet.
Kalau pakaian rusak dan masih bisa diperbaiki, perbaikilah. Kalau punya budget lebih, tidak masalah beli baju yang agak mahal biar lebih tahan lama.
Karena tren fesyen cepat sekali berubah, saya lebih suka beli baju yang modelnya simple dan timeless sehingga bisa dipakai kapan saja. Saya jadi tidak perlu sering-sering beli baju hanya untuk mengikuti tren fesyen yang lagi hits sekarang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI