Dalam buku Ngaji Fikih, Pemahaman Tekstual dengan Aplikasi yang Kontekstual karya Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. dan Nadirsyah Hosen (2020), disebutkan bahwa ulama mazhab pernah berbeda pendapat dengan jumhur (mayoritas) ulama dalam beberapa kasus.
Imam Syafi'I berpendapat bahwa anak yang lahir di luar nikah, apabila perempuan, boleh dinikahi oleh bapak biologisnya karena nasabnya tidak dilekatkan pada bapaknya dan bapaknya tidak berhak menjadi wali nikah anak perempuannya.
Imam Malik berpendapat bahwa anjing tidak najis. Sementara mazhab Syafi'i, Hambali dan Hanafi menghukumi anjing sebagai najis dengan ketentuan yang berbeda. Ada yang berpendapat hanya air liur dan keringatnya yang najis. Ada pula yang berpendapat bulu, keringat dan air liurnya najis.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nabidz (sejenis minuman selain dari perasan anggur yang difermentasikan) itu halal selama dikonsumsi dalam kadar yang tidak memabukkan. Padahal menurut jumhur (mayoritas) ulama, minuman yang berpotensi memabukkan, apapun jenisnya, berapa pun kadarnya, yang minum itu mabuk atau tidak, tetap dihukumi haram.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa makan daging unta membatalkan wudhu sedangkan jumhur berpendapat sebaliknya.
Jika selama ini kita lebih familiar dengan pendapat yang menyatakan bahwa seluruh bagian dari babi, termasuk lemak dan tulangnya haram, Imam Dawud al-Zhahiri (Ulama ahlusunnah dan pendiri mazhab Zhahiri. Awalnya adalah pengikut Imam Syafi'i) malah berpendapat hanya dagingnya yang haram.
Dan masih banyak contoh lain tentang perbedaan pendapat antara ulama mazhab dengan jumhur, yang dalam kasus tertentu terbilang aneh dan kontroversial.
Namun, di masa sekarang, perbedaan pendapat malah dijadikan alasan untuk saling menghujat. Seolah-olah yang berbeda itu buruk, salah dan sesat. Bisa saja kan, mereka berpedoman pada pendapat ulama lain (bukan pendapat mayoritas) yang belum atau tidak kita ketahui karena kurang familiar di masyarakat? Sayangnya, kita telanjur berprasangka yang bukan-bukan.
Meski beberapa pendapat terkesan kurang populer, aneh bahkan kontroversial, pendapat mereka bukan asbun alias asal bunyi. Para ulama itu tetap mendasarkan pendapatnya pada Al-Quran dan hadis.
Lagipula, kalau kita perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 48 dan ayat lain yang semakna, sebenarnya Allah sendiri memfasilitasi perbedaan itu. Buktinya, firman-Nya tidak menggunakan kata-kata yang bermakna tunggal sehingga memungkinkan adanya perbedaan qira'at (bacaan) dan penafsiran.
Allah membuatnya demikian karena Dia ingin kita berpikir, saling belajar untuk kemudian saling melengkapi. Toh, Nabi sendiri berkata jika ijtihad ulama itu benar, ia akan mendapat dua pahala dan jika salah ia mendapat satu pahala. Kita sebagai umat pun diperbolehkan untuk memilih pendapat mana yang paling mudah dilakukan dan sesuai dengan kondisi kita.