"Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan."Â
-Q.S. Al-Maidah (5): 48-
Perbedaan adalah rahmat dan kita diajarkan untuk bisa menghormatinya. Namun, praktiknya tidak selalu sejalan dengan teorinya.
Jangankan terhadap orang-orang yang berbeda agama dan kepercayaan, terhadap sesama umat Islam sendiri saja kita masih suka mengkafir-kafirkan umat atau ulama yang berbeda pandangan dengan mayoritas. Sebagian sampai ada yang tega menuding dan melabeli ulama A sesat, ulama B ahli bid'ah, ulama C liberal, ulama D Syiah dan ulama E pesanan pemerintah. Seolah-olah ulama yang lebih banyak pengikutnya dan lebih banyak diikuti pendapatnya adalah yang paling benar.
Perbedaan pendapat antar ulama adalah hal yang wajar dan sudah terjadi sejak dulu.Â
Sebelum kerasulan Nabi Muhammad Saw, antar nabi saja bisa ada perbedaan pendapat. Seperti yang tercantum dalam Surat Al-Anbiya ayat 78-79, yaitu ketika Nabi Sulaiman dan Nabi Daud berbeda pendapat dalam memutus perkara tentang ladang seseorang yang dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya.
Ketika Allah mewahyukan bahwa kebenaran berada di pihak Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman pun tidak mencela Nabi Daud. Bahkan disebutkan bahwa keduanya sama-sama mendapat ilmu dan hikmah.
Di masa Rasulullah Saw, perbedaan pendapat jarang terjadi karena umat saat itu dapat mendengar dan melihat langsung apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Jika ada perkara yang tidak mereka pahami atau para sahabat berselisih pendapat, mereka bisa langsung bertanya pada Nabi.
Bibit-bibit perbedaan mulai berkembang di kalangan sahabat setelah Rasulullah Saw wafat, semakin melebar pada generasi Tabi'in (generasi Islam awal yang hidup setelah Nabi Muhammad Saw dan para sahabat) dan mencapai puncaknya pada generasi imam mazhab.
Perbedaan antar ulama bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti perbedaan qira'at (bacaan) Al-Quran, banyaknya hadis yang diketahui (dipengaruhi oleh intensitas interaksi dengan Nabi Muhammad Saw), perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadis, perbedaan dalam menafsirkan teks Al-Quran dan hadis, adanya pertentangan dalil dan perbedaan kaidah istinbat hukum.