Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurikulum Merdeka dan Penghapusan Stereotipe Siswa Jurusan IPA dan IPS

18 Februari 2022   17:24 Diperbarui: 18 Februari 2022   18:54 3681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kurikulum merdeka-gambar diunduh dari kabarbanten.pikiran-rakyat.com

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) akan menerapkan kurikulum merdeka (sebelumnya disebut kurikulum prototipe) mulai tahun ajaran 2022/2023. 

Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengatakan bahwa kurikulum merdeka akan memberikan otonomi dan kebebasan bagi siswa dan sekolah.

Salah satu terobosan menarik dalam kurikulum merdeka adalah tidak ada lagi program peminatan atau penjurusan IPA, IPS, dan bahasa sehingga siswa bebas memilih mata pelajaran yang diminatinya di dua tahun terakhir saat SMA. 

Sekolah juga tidak akan dipaksakan untuk mengikuti kurikulum tersebut sehingga sekolah bebas untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kesiapannya.

Kurikulum merdeka dinilai lebih sederhana dan fleksibel, baik bagi siswa maupun guru. Siswa dapat menentukan sendiri mata pelajaran yang hendak diambil sesuai dengan minatnya. Sementara guru akan diberi wewenang untuk menentukan alur pembelajarannya mau seperti apa.

Stereotipe Siswa Jurusan IPA dan IPS

Contoh meme stereotipe anak IPA dan IPS-sumber: cerpen.co.id (diunduh dari ilmupedia.co.id)
Contoh meme stereotipe anak IPA dan IPS-sumber: cerpen.co.id (diunduh dari ilmupedia.co.id)

Disadari atau tidak, kastanisasi jurusan di SMA itu nyata. Jurusan IPA menempati kasta yang lebih tinggi, dianggap lebih keren dan bergengsi sedangkan jurusan IPS dipandang lebih rendah dan tidak bergengsi.

Anak IPA sering dianggap lebih pintar, serius, rajin, tertib, disiplin tapi kaku dan membosankan. Sementara anak IPS sering dicap sebagai anak buangan, bodoh, pemalas, nakal, langganan disetrap guru BK tapi asyik, santai dan gaul.

Jumlah kelas IPS di sekolah-sekolah kebanyakan memang lebih sedikit daripada kelas IPA.

Di SMA saya dulu, jumlah kelas IPA, baik kelas XI maupun XII (pada waktu itu penjurusan masih dilakukan di kelas XI), ada 6 kelas. 

Jumlah kelas IPS hanya ada 3 dan tidak ada program penjurusan bahasa di SMA saya. SMA lain malah ada yang hanya punya 1 kelas IPS.

Entah mengapa bisa begitu.

Apa karena tidak banyak siswa yang berminat terhadap ilmu-ilmu sosial? Apakah kelas itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang gagal masuk IPA? Apa memang sudah kebiasaan dari zaman baheula seperti itu?

Apa pun alasannya, yang jelas hal tersebut cukup sukses menciptakan kesan bahwa anak IPS adalah anak buangan.

Saya ingat juga ketika SMA, orangtua pernah menyarankan agar saya masuk IPA saja agar bisa punya lebih banyak opsi jurusan dan kesempatan saat akan mendaftar kuliah kelak. 

Dengan kata lain, anak IPA bisa memilih jurusan atau prodi soshum ketika kuliah. Namun, hal ini tidak berlaku bagi anak IPS sehingga pilihan yang mereka miliki lebih terbatas.

Bahkan ada jurusan tertentu yang lebih banyak diisi oleh anak IPA (padahal termasuk jurusan soshum), seperti jurusan-jurusan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).

ilustrasi kurikulum merdeka-gambar diunduh dari kabarbanten.pikiran-rakyat.com
ilustrasi kurikulum merdeka-gambar diunduh dari kabarbanten.pikiran-rakyat.com

Saya juga sering dengar kalau mahasiswa FEB yang dulunya anak IPA saat SMA, meski awalnya agak kesulitan dalam memahami materi kuliah tetapi lebih cepat lulus daripada mereka yang dari jurusan IPS karena kemampuan dan logika matematikanya lebih canggih.

Entah ini benar atau mitos belaka, nyatanya teman-teman kuliah saya di FEB yang waktu SMA anak IPS tidak kalah pintar dengan teman-teman yang jebolan jurusan IPA. Malah ada yang bisa lulus lebih cepat dengan predikat summa cumlaude pula.

Menghargai Keberagaman Minat dan Bakat Anak

Satu hal yang-menurut saya-turut memicu munculnya stereotipe terhadap siswa jurusan IPA dan IPS adalah ketidakmampuan kita dalam menghargai keberagaman minat dan bakat anak.

Sejak masuk usia sekolah, saya dan mungkin juga Anda, sudah didoktrin bahwa anak cerdas adalah mereka yang pintar matematika, fisika, dan ilmu-ilmu eksak yang njelimet-njelimet itu. Sementara anak-anak yang pintar di bidang atau mata pelajaran lain, seperti ilmu-ilmu sosial, seni budaya atau olahraga tapi nilai matematikanya jelek, justru dianggap bodoh.

Padahal jenis kecerdasan sendiri ada bermacam-macam. Ada kecerdasan logis-matematik, verbal-linguistik , musik, kinestetik-jasmani, naturalis, intrapersonal, interpersonal, visual-spasial dan eksistensial. Orang yang tidak pandai di suatu bidang bisa jadi lebih pandai pada bidang lain.

Dengan demikian, stereotipe bahwa anak IPA lebih pintar dari anak IPS jelas tidak tepat. Perbandingannya tidak apple to apple.

Jika anak IPA belajar tentang sistem pencernaan, pernafasan, peredaran darah dan sistem-sistem lain dalam tubuh manusia berikut dengan nama latinnya, anak IPS belajar tentang sistem ekonomi berikut masing-masing karakteristiknya.

Jika anak IPA harus belajar limit aljabar dan trigonometri, anak IPS cukup belajar limit aljabar saja.

Dengan contoh perbedaan ini, bagaimana bisa kita mengatakan bahwa anak IPA lebih pintar dari anak IPS?

Penutup

Sebagai mantan pelajar, saya berharap agar kurikulum merdeka benar-benar membuat siswa merdeka dalam belajar dan memilih apa yang ingin mereka pelajari. 

Dengan begitulah mereka akan belajar untuk memahami minat, potensi diri dan apa yang mereka butuhkan agar potensi tersebut lebih terasah.

Dihapuskannya program penjurusan di SMA, seharusnya bisa dipandang sebagai langkah yang baik untuk menghapus stereotipe anak IPA dan IPS yang sudah outdated itu. 

Setidaknya para siswa SMA bisa bernafas lega karena tidak harus menuruti ambisi orangtua egois yang suka memaksa anaknya untuk masuk IPA.

Zaman sudah berubah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih. Permasalahan kehidupan, baik di lingkup personal maupun global semakin kompleks. 

Sistem pendidikan di Indonesia harus berubah agar dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, pendidikan perlu mencetak generasi-generasi terpelajar dan terdidik yang kompeten di berbagai bidang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun