Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bagaimanakah Media Merepresentasikan Kelompok Marginal?

11 Februari 2022   16:19 Diperbarui: 14 Februari 2022   12:02 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi media-photo by expect best from pexels

Kemajuan teknologi turut memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengonsumsi informasi. Jika dulu informasi hanya bisa diperoleh melalui media konvensional, sekarang masyarakat dapat memperoleh informasi apa pun yang mereka inginkan dari media daring bahkan media sosial. 

Namun, kehadiran media daring yang kini mulai menggeser eksistensi media konvensional lebih banyak mengutamakan kecepatan dibandingkan ketepatan. Tidak sedikit media daring yang menampilkan judul berita yang sensasional dan bombastis hanya untuk mengundang klik pembaca.

Salah satu aspek dari pemberitaan di media yang menarik untuk dibahas adalah inklusivitas bagi kaum marginal, seperti kaum miskin perkotaan, penganut agama atau aliran kepercayaan tertentu, perempuan korban kekerasan, korban perdagangan manusia, masyarakat tradisional, kelompok disabilitas, kelompok LGBT dan sebagainya.

Media berkontribusi dalam memberikan pemahaman tentang kelompok marginal pada masyarakat luas. Pemberitaan yang tidak akurat tentang kelompok marginal dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat sehingga berpotensi melanggengkan stereotipe dan diskriminasi pada kelompok tersebut.

Hal ini dapat diketahui melalui cara media dalam merepresentasikan atau menggambarkan suatu kejadian, sekelompok manusia atau realitas sosial lainnya kepada khalayak. Minimnya representasi kelompok marginal di media akan membuat mereka terlihat "asing" dan semakin terabaikan dari suatu sistem ekonomi, sosial, budaya maupun politik.  

Inklusivitas Media Kita

Lembaga riset dan studi media, Remotivi, pernah merilis laporan Indeks Media Inklusif pada 2020 lalu. Indeks Media Inklusif (IMI) adalah rapor media dalam aspek inklusivitas. Inklusivitas sendiri merupakan prinsip yang menekankan pada kesetaraan akses dan peluang serta pelenyapan diskriminasi dan intoleransi yang menghambatnya.

Skor IMI diperoleh melalui penelitian yang dilakukan terhadap sepuluh media daring untuk pemberitaan mereka terkait kelompok marginal sepanjang 2019 dengan jumlah sampel sebanyak 1.938 berita. Empat kelompok marginal tersebut adalah disabilitas, komunitas religius, perempuan dalam kekerasan dan keragaman gender dan seksualitas.

Penilaian didasarkan pada dua aspek, yaitu aspek standar jurnalisme dan afirmasi media. Penilaian pada aspek standar jurnalisme digunakan untuk mengukur kualitas berita yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Sementara aspek afirmasi media berfungsi untuk mengukur tingkat dukungan media terhadap kelompok marginal.

Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa secara umum, kesepuluh media yang diteliti belum cukup berupaya menghadirkan suara kelompok marginal yang diberitakan. Hal ini dibuktikan melalui persentase antara narasumber non-marginal yang diberikan ruang mencapai 80,8% sedangkan ruang bagi narasumber marginal hanya 18,7% dan ada 0,5% narasumber yang profilnya tidak teridentifikasi. 

Padahal memberikan ruang bagi narasumber marginal dapat membuat tone berita menjadi lebih baik dan positif (78,6%) sedangkan narasumber non-marginal hanya memberikan tone positif sebesar 36,1%.

Representasi kelompok marginal di media

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keberagaman suku, agama, etnis, gender dan ideologi. Sayangnya, masih banyak media yang belum memberi ruang dan menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme dalam memberitakan isu-isu terkait kelompok marginal.

Dalam mengabarkan isu-isu keberagaman, media cenderung menjadikan kelompok marginal sebagai objek pemberitaan yang lebih mengedepankan sensasi dibandingkan substansi. Hal inilah yang membuat kellompok marginal masih sering dipandang sebagai "liyan".

Penggambaran isu keberagaman juga seringkali disederhanakan menjadi sebatas atribut, simbol dan agenda-agenda seremonial. Padahal ada hal lain yang tidak kalah penting untuk diketahui publik, seperti dinamika sosial dalam kelompok marginal, tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan eksistensi dan memperoleh hak-hak dasar dan sebagainya.

Ketika ada konflik yang melibatkan kelompok marginal, media lebih banyak menghadirkan suara para elit, seperti pejabat publik, aparat, tokoh-tokoh agama dari organisasi keagamaan mayoritas dan lain-lain sebagai narasumber. 

Sementara suara dan pandangan dari kelompok marginal yang mengalami diskriminasi, intimidasi dan persekusi masih kurang dihadirkan. Akibatnya pemahaman dan sudut pandang masyarakat tentang konflik atau kelompok tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh perspektif para elit.

Belum lagi pelabelan negatif yang disematkan kepada mereka, seperti melabeli penganut aliran agama dan kepercayaan tertentu sebagai sesat, kafir atau ancaman, justru semakin menyuburkan prasangka dan kebencian.

Ada dua sebab utama minimnya representasi kelompok marginal di media. Pertama, perspektif media terhadap kelompok marginal yang cenderung negatif sejak awal.

Mereka yang tidak pernah mengenal atau berinteraksi dengan kelompok marginal secara langsung tentu memiliki pemahaman yang terbatas tentang kelompok ini. Informasi dan pengetahuan tentang kelompok marginal lebih banyak diperoleh dari bahan bacaan atau tayangan yang seringkali bersifat diskriminatif dan stereotipikal. 

Sementara informasi yang menampilkan sisi lain (yang tidak stereotipikal atau sensasional) dari kelompok marginal cenderung kurang populer atau jarang diangkat oleh media.

Misalnya, pemberitaan tentang kelompok LGBT yang lebih didominasi oleh berita razia dan penangkapan transgender di tempat hiburan malam atau lokasi prostitusi dibandingkan berita tentang transpuan yang bisa mendapatkan posisi strategis di lembaga pemerintahan dan menjadi guru di sebuah sekolah.

Saya memahami bahwa isu LGBT merupakan isu sensitif yang tidak semua orang sepakat atau bisa menerima keberadaan mereka. Namun, pembingkaian (framing) media yang cenderung stereotipikal membuat mereka lebih sering diasosiasikan sebagai pelaku kriminalitas, bertentangan dengan agama dan ideologi negara, penyakit masyarakat, sumber penyebaran HIV AIDS bahkan sumber bencana---sebagaimana yang terjadi ketika bencana gempa dan tsunami Palu 2018 silam---membuat mereka rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. 

Stigma dan stereotipe inilah yang kemudian berkembang luas di masyarakat sehingga menyulitkan mereka untuk memperoleh kesetraan dan hak-hak dasar, seperti pendidikan dan pekerjaan yang layak. Padahal amanah konstitusi kita adalah setiap warga negara berhak untuk merasa aman dan terlindungi dari segala bentuk diskriminasi.

Penyebab kedua adalah kepentingan ekonomi-politik media. 

Sejak menjamurnya media daring, media dipaksa 'tunduk' pada SEO (Search Engine Optimization) agar bisa tetap eksis dan bertahan. Jika tidak demikian, sebagus apa pun tulisan yang ditayangkan, akan sulit mendapat banyak pembaca.

Sebaliknya, tulisan yang memenuhi kaidah SEO akan lebih mudah mendapat banyak pembaca meski kualitasnya memprihatinkan, banyak kesalahan ketik (saltik), penulisan tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan bahkan menggunakan kata-kata kunci yang berorientasi clickbait.

Akibatnya, media daring berlomba-lomba menempatkan produk jurnalismenya pada posisi teratas halaman pertama mesin pencari untuk mendulang traffic dan cuan. Oleh karena itu, beberapa media menghindar dari memberitakan suatu konflik sosial, budaya, ekonomi, politik atau agama yang korbannya adalah kelompok marginal karena khawatir akan berdampak pada kondisi ekonomi medianya.

Dalam konteks politik juga sama. Media, terutama media penyiaran, seringkali digunakan pula sebagai alat politik dan propaganda oleh penguasa atau partai politik tertentu. Kepentingan politik pemilik media dengan elit politik tertentu seringkali mempengaruhi konten berita yang ditayangkan sehingga dapat memunculkan polarisasi politik. 

Penutup

Minimnya representasi kelompok marginal di media dapat membuat masyarakat terjebak pada stigma dan stereotipe sehingga cenderung lebih mudah menghakimi dan bersikap diskriminatif. 

Media seharusnya mampu memberikan ruang aman bagi kelompok marginal untuk bersuara sehingga masyarakat lebih teredukasi, mampu menghargai keberagaman dan memandang isu terkait kelompok tersebut dari perspektif yang berbeda. 

Selain itu, memberi ruang bersuara bagi kelompok marginal sama saja dengan memberi mereka kesempatan untuk merepresentasikan dirinya sebagai manusia utuh. Dengan demikian, mereka seharusnya tidak lagi dipandang sebagai "liyan" dan terpinggirkan dari masyarakat.

Referensi : 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun