Sabtu malam, 27 November 2021 adalah hari deg-degan di mana nama-nama yang menjadi jawara diumumkan. Taklupa saya ucapkan selamat kepada semua pemenang. Mereka memang layak atas penghargaan tersebut.
Sebelum hari-H Kompasianival dan Kompasiana Award 2021, tepatnya ketika nama-nama nomine diumumkan, saya temukan ada beberapa artikel yang menyorot tentang kurangnya keterwakilan Kompasianer perempuan dalam ajang penghargaan ini.
Hari ini saya takakan mengomentari soal itu. Namun izinkan saya mengeluarkan unek-unek dan beberapa catatan untuk Kompasianer perempuan, terutama untuk saya sendiri.
Pertama, keterwakilan K-ner perempuan bukan hanya soal kuantitas
"Menurut saya, bukan soal kuantitas yang perlu dikejar, melainkan daya tahan produktivitasnya. Laki-laki kompasianer bisa terlihat dominan secara kuantitas rata-rata karena daya tahan produktivitasnya."
(Kompasianer Deddy Husein Suryanto dalam artikel Perempuan Kompasianer Mendominasi Nominee Best in Opinion, Kok Bisa?)
Ini bukan berarti saya tidak mendukung sesama perempuan. Saya juga berharap agar K-Award tahun depan jumlah nomine perempuan bertambah dan ada di setiap kategori, terutama di kategori Best in Fiction dan Best in Citizen Journalism yang tahun ini tidak ada nomine perempuan sama sekali.
Tapi seperti yang disampaikan oleh Deddy dalam artikelnya, butuh daya tahan produktivitas untuk bisa survive dalam ekosistem digital, baik secara luas maupun sempit (di Kompasiana).
Namun jika saya boleh menambahkan satu poin penting adalah apa nilai plus atau kekuatan yang kita punya sebagai K-ner perempuan dan bagaimana memanfaatkannya untuk bisa survive bahkan stand out di bidangnya masing-masing.Â
Kedua, keinginan untuk selalu belajar dan berkembang
Saya memulai debut di Kompasiana sebagai penulis puisi. Kemudian saya beranikan diri untuk putar haluan ke nonfiksi dengan spesialisasi tulisan seputar isu lingkungan, humaniora, gaya hidup dan finansial. Topik-topik tersebut kebetulan memang minat saya.
Saya sengaja beralih ke nonfiksi karena merasa lebih termotivasi untuk selalu dan banyak belajar. Tidak hanya belajar bagaimana menyajikan artikel yang bermutu dan bermanfaat, tapi juga belajar bagaimana menyampaikan pemikiran atau pengetahuan mengenai suatu hal agar lebih mudah dipahami pembaca.
Dan harus saya akui, menyampaikan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang sederhana itu tidak mudah bagi saya.
Saya tidak hendak memaksa para fiksianer untuk beralih menjadi nonfiksianer. Karena fiksianer yang selalu belajar dan berkembang pun akan mampu menghasilkan karya-karya fiksi yang tidak monoton. Tema yang luas, beragam, relatable, pesan yang dalam bahkan dari karya fiksi pula kita juga bisa mendapat pengetahuan baru.
Ketiga, jangan membatasi diri
Kompasianer perempuan tidak perlu membatasi diri (tidak pula dibatasi oleh orang lain) dalam menggali dan menyuarakan ide-idenya. Karena ketika kita membatasi diri, kita jadi malas atau malah takut belajar dan mencoba sesuatu.
Keempat, jangan ragu untuk menggunakan sudut pandang perempuan dalam mengulas suatu masalah atau isu
Saya pernah mengikuti suatu diskusi media dan jurnalistik yang diadakan secara daring oleh salah satu lembaga riset. Dari situ saya tahu ternyata ada topik-topik yang dianggap maskulin dan feminin.
Topik-topik, seperti politik, hukum, keamanan, ekonomi dianggap topik yang maskulin sehingga banyak mahasiswi jurnalistik dan jurnalis perempuan yang jarang diberikan tugas liputan terkait topik-topik tersebut. Mereka lebih sering diberi tugas liputan untuk topik yang lebih ringan, seperti gaya hidup, wisata, kuliner, lingkungan.
Saya tidak tahu apakah di Kompasiana juga ada kecenderungan semacam itu atau tidak. Misalnya, K-ner perempuan lebih sedikit yang menulis topik politik atau K-ner laki-laki lebih sedikit yang menulis topik lingkungan dan sebagainya.
Jika memang ada kecenderungan tersebut, saya pikir tulisan-tulisan K-ner Jeniffer Gracellia tentang politik internasional bisa menjadi contoh yang baik bagaimana topik yang dianggap maskulin ditulis dengan sudut pandang perempuan.
Wasana Kata
Suara dan peran laki-laki memang sangat dominan hampir dalam segala hal. Takayal banyak perempuan mengatakan "we live in a man's world". Saking dominannya, suara perempuan masih sering dianggap sebelah mata bahkan diabaikan.Â
Namun yang saya syukuri dari adanya nomine perempuan dalam K-Award 2021, terutama pada kategori Best in Opinion yang paling banyak terdapat nomine perempuan, adalah kita, K-ner perempuan ternyata punya power untuk memberi warna di rumah bersama Kompasiana.Â
Untuk semua K-ner perempuan yang saya kagumi dan hormati, mari terus belajar, berkarya dan menyuarakan pemikiran sesuai minat dan kemampuan kita. Bukan untuk menyaingi K-ner laki-laki melainkan untuk mengimbangi agar kita semua dapat memandang dan menyikapi suatu persoalan secara lebih manusiawi.Â
Selamat berakhir pekan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H