Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Memahami Konsep Persetujuan (Consent) agar Tidak Buru-buru Menuduh Permendikbudristek PPKS Melegalkan Zina

17 November 2021   16:29 Diperbarui: 18 November 2021   01:03 1573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban kekerasan seksual. Sumber: Kompas.com

Kekerasan seksual dalam dunia pendidikan merupakan fenomena gunung es. Sering terjadi namun banyak yang tersembunyi.

Belum adanya peraturan yang secara tegas dan rinci mengatur penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, membuat korban kesulitan mendapat perlindungan dan bantuan yang memadai. Dengan alasan "demi menjaga nama baik kampus atau sekolah", kasus kekerasan seksual seringkali hanya diakhiri secara "kekeluargaan".

Hal ini tentu tidak menyelesaikan masalah karena korban telah dirugikan, baik secara fisik, psikis, ekonomi dan sosial. Sementara pelaku masih bisa melenggang bebas tanpa perlu bertanggung jawab atas perbuatannya.

Sebagai jawaban dan solusi atas masalah tersebut, Mendikbudristek, Nadiem Makarim membuat gebrakan baru dengan menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Peraturan ini disambut pro kontra dari sejumlah pihak. Pihak yang pro menilai peraturan ini cukup komprehensif sehingga dapat menjadi angin segar bagi penanganan kekerasan seksual di dunia akademik.

Secara keseluruhan, Permendikbudristek PPKS terdiri atas 9 bab dan 58 pasal yang di dalamnya memuat tentang definisi dan kategori, aturan dan sistem pencegahan, sanksi kepada pelaku kekerasan seksual hingga sanksi bagi kampus yang abai dan lalai dalam melakukan penanganan, pencegahan dan memberikan sanksi pada pelaku.

Sementara pihak yang kontra menilai permendikbud ini melegalkan perzinaan lantaran memuat frasa "tanpa persetujuan korban" dalam pasal 5 ayat 2 yang berisi hal-hal yang termasuk tindak kekerasan seksual. 

Benarkah demikian? Sebenarnya apa makna dari frasa "tanpa persetujuan" dalam peraturan tersebut?

Konsep Persetujuan (Consent) dalam Hukum

Consent atau persetujuan sebenarnya adalah istilah yang populer dalam bidang hukum. Secara umum, consent dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement).

Konsep ini telah dikenal sejak era Renaissance di Eropa abad ke-15. Ia lahir dari sebuah pemikiran bahwa tiap individu harus menjaga kedamaian sosial dengan tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain hanya untuk keuntungan dirinya sendiri.

Sejak saat itu, konsep persetujuan berkembang di berbagai bidang ilmu dan dapat mengacu pada berbagai hal, termasuk dalam hubungan seksual.

Dalam ilmu hukum, persetujuan berperan dalam mengubah hubungan hukum antara dua orang atau lebih.

Misalnya, bila kita meminta izin kepada orang lain untuk meminjam bukunya dan orang tersebut mengizinkan, maka terjadilah hubungan pinjam meminjam. 

Jika orang tersebut menolak meminjamkan bukunya namun kita tetap nekat mengambilnya, ini namanya pencurian. 

Dalam hal ini, pemilik buku adalah pihak yang punya kuasa untuk memberikan persetujuan bukunya boleh dipinjam atau tidak. 

Jika seseorang menolak terlibat dalam aktivitas seksual, tapi ia dipaksa dan diancam, ini namanya kekerasan seksual. Itu sebabnya dalam Permendikbudristek PPKS disebutkan frasa "tanpa persetujuan korban". 

Namun bukan berarti kalau "dengan persetujuan" lantas tindakan itu jadi benar dan legal. Masih ada syarat dan ketentuan lain yang wajib diperhatikan. 

ilustrasi kekerasan seksual-sumber gambar: tribunnews.com
ilustrasi kekerasan seksual-sumber gambar: tribunnews.com

Syarat Berlakunya Persetujuan dalam Hubungan Seksual

Istilah persetujuan atau consent juga kerap disebut-sebut dalam hubungan seksual. Namanya sexual consent atau hubungan seks konsensual.

Inilah yang sering menjadi perdebatan dan dianggap melegalkan zina. Padahal  dalam hubungan seksual ada syarat dan ketentuan yang berlaku.

Pertama, persetujuan hanya dapat diberikan oleh orang yang dinyatakan sudah dewasa dan punya kapasitas

Dalam konteks hubungan seksual, ilmu hukum dan psikologi, dikenal istilah age of consent atau batas usia minimal seseorang dapat berpartisipasi dalam aktivitas seksual.

Di Indonesia, meskipun belum ada aturan yang secara rinci membahas mengenai age of consent, namun beberapa peraturan perundang-undangan menyebutkan usia minimal seseorang dianggap dewasa. Itu pun disebutkan berbeda-beda.

Misalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 (26) tentang Ketenagakerjaan menyebut usia dewasa minimal 18 tahun.

Ada pula aturan yang menyebut tentang usia dewasa politik minimal 17 tahun.  

Ada yang memberi batasan usia lebih tua lagi, seperti pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 yang memberi batasan usia dewasa berdasarkan 2 hal : 1.) minimal berusia 21 tahun dan 2.) sudah pernah menikah.

Jadi, kalau ada remaja SMP usia 15 tahun melakukan seks bebas, mereka dinyatakan belum dewasa dan tidak punya kapasitas untuk memberikan persetujuan sehingga termasuk perbuatan terlarang. 

Jika kita menggunakan patokan seperti yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330, maka jelaslah bahwa aktivitas seksual yang dilakukan oleh mereka yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak dapat dibenarkan oleh konsep persetujuan. 

Kedua, persetujuan bukan berarti menghalalkan tindakan yang melanggar hukum

Dalam hal seseorang menggunakan jasa pekerja seks komersial, meskipun keduanya sama-sama memberikan persetujuan dan cukup umur untuk melakukan aktivitas seksual, namun tindakan ini termasuk pelanggaran hukum. 

Satu hal lagi yang membuat saya gemas adalah orang dipaksa cepat menikah (bahkan yang bersangkutan masih di bawah umur) untuk menghindari zina. Padahal orang yang sudah menikah banyak juga yang masih berzina.

Selingkuh, misalnya. Itu juga zina. Dan pasangan yang melakukan perselingkuhan juga bisa diancam pidana penjara. Jadi, walaupun pasangan selingkuh itu sama-sama suka dan setuju melakukan persetubuhan, tindakan ini juga tidak dapat dibenarkan. 

Ketiga, persetujuan hanya diberikan jika seseorang benar-benar memahami risiko dari berbagai situasi yang dihadapinya

Dalam kasus kekerasan seksual, korban seringkali dibohongi, dimanipulasi dan diintimidasi oleh pelaku untuk melakukan aktivitas seksual. Korban juga seringkali dicekoki oleh obat-obatan atau minuman beralkohol yang membuatnya kehilangan kesadaran. Dengan demikian, korban tidak dapat dikatakan telah memberikan persetujuan.

Jadi, jika kekerasan seksual telah dialami oleh korban berkali-kali namun korban baru berani bicara setelah sekian lama, itu bukan karena korban setuju dan keenakan diperlakukan demikian tapi karena pertimbangan trauma fisik dan psikisnya. 

Belum lagi risiko yang harus dihadapi berupa kriminalisasi korban saat ia menyuarakan atau melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami. 

Mengenalkan Konsep Persetujuan Melalui Pendidikan Seks

Konsep persetujuan yang diajarkan melalui pendidikan seks bukan untuk mengajarkan seks bebas pada anak-anak.

Penekanan soal konsep persetujuan juga harus mengajarkan tentang risiko, konsekuensi dan tanggung jawab moral sosial dari suatu aktivitas seksual. 

Dengan demikian mereka akan belajar untuk menerapkan batasan atas tubuhnya : siapa yang diperbolehkan menyentuh tubuhnya, umur berapa mereka bisa berpartisipasi dalam aktivitas seksual, termasuk memahami apa risikonya jika mereka melakukan seks bebas.

Selain itu, perlu juga dikenalkan tentang relasi kuasa. Karena relasi kuasa merupakan salah satu faktor utama pemicu terjadinya kekerasan seksual.

Wasana Kata

Konsep consent atau persetujuan itu sangat luas dan kompleks. Ia tidak serta merta hanya pernyataan teknis berupa "ya" atau "tidak", "boleh" atau "tidak boleh", "setuju" atau "tidak setuju".

Secara luas, konsep ini punya tujuan mulia, yaitu mengajarkan dan menanamkan rasa cinta serta hormat pada sesama manusia. Dan kekerasan seksual adalah suatu tindakan yang mengkhianati tujuan mulia ini.

Rujukan : 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun