Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perlukah Cancel Culture sebagai Sanksi Sosial?

13 September 2021   10:41 Diperbarui: 29 Maret 2022   01:12 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perlukah cancel culture sebagai sanksi sosial | photo by cottonbro from pexels

Kabar tentang bebasnya Saipul Jamil menjadi perbincangan hangat di berbagai media beberapa hari ini. Setelah hari bebasnya, ia juga diundang ke program talkshow di salah satu stasiun televisi dan kanal YouTube. Publik yang tidak terima kemudian melayangkan petisi untuk memboikot Saipul Jamil dari televisi.

Tidak hanya masyarakat atau warganet, sejumlah public figure, seperti Ernest Prakasa, Soleh Solihun, Angga Sasongko, dan sebagainya turut menyerukan boikot ini. Angga Sasongko bahkan sampai mengumumkan di Twitternya kalau akan menghentikan distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara dari stasiun televisi yang mempekerjakan Saipul Jamil.

Aksi boikot yang dilakukan oleh sejumlah public figure dan masyarakat ini dikenal sebagai cancel culture.

Nah, apa sebenarnya yang dimaksud dengan cancel culture? Kapan dan bagaimana awal munculnya cancel culture? Apa dampak yang ditimbulkan dari cancel culture? Mari kita bahas satu per satu di artikel ini.

Apa itu Cancel Culture?

Cancel culture is the practice or tendency of engaging in mass canceling as a way of expressing disapproval and exerting social pressure

(Merriam-Webster online dictionary)

Secara sederhana, cancel culture adalah usaha kolektif masyarakat untuk memboikot seseorang atas perbuatan atau ucapannya. Biasanya seseorang yang diboikot ini telah melakukan suatu hal buruk, seperti pelecehan seksual, bersikap diskriminatif, melontarkan komentar rasis, dan sebagainya. 

Mereka yang diboikot atau di-cancel ini akan menghadapi beragam konsekuensi, seperti kehilangan kepercayaan publik, dikucilkan, dihina, dan dipandang rendah hingga kehilangan pekerjaannya.

Kemunculan istilah cancel culture ini diduga berawal dari laporan New York Times yang menyebut produser film Hollywood, Harvey Weinstein, diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap 16 perempuan (3 di antaranya diperkosa) pada 2017. 

Empat bulan setelah munculnya tuduhan tersebut, terdapat 150 artis lain yang ikut dituduh pernah melakukan kejahatan seksual, mulai dari Ben Affleck hingga Oliver Stone.

Meskipun tidak semua artis mengakui tuduhan tersebut, kasus itu telah meningkatkan kesadaran publik akan perilaku kekerasan seksual yang kemudian diikuti dengan kemunculan tagar #MeToo, di mana masyarakat didorong untuk menyuarakan pengalamannya terkait berbagai bentuk kekerasan seksual yang pernah diterima.

Sejak saat itu banyak artis ikut di-cancel atau diboikot. Salah satunya adalah Kevin Spacey yang pada bulan Oktober 2017 menerima 16 tuduhan pelecehan seksual. Akibatnya Spacey disingkirkan dari posisi pemain dan eksekutif produser House of Cards.

Di Indonesia, sebelum ramai aksi boikot Saipul Jamil, Karin Novilda atau Awkarin juga pernah di-cancel masyarakat pada Oktober 2019 lalu. 

Hal itu berawal dari seorang ilustrator bernama Nadiyah Rizki S yang mengkritik Awkarin karena telah mencuri hak intelektual dari seniman-seniman di Pinterest dengan mengunggahnya di instagram Awkarin (@awkarin) pada awal ketenarannya. 

Nadiyah pun menuntut Awkarin untuk mengakui kesalahannya dan membayar sejumlah royalti pada seniman-seniman tesebut.

Sisi Positif dan Negatif Cancel Culture

Kita mungkin berpikir kalau cancel culture ini kejam. Apalagi jika harus berhadapan dengan warganet +62 yang bar-bar. 

Jadi, cancel culture itu sebenarnya baik atau buruk?

Cukup sulit sebenarnya untuk mengatakan apakah cancel culture itu baik atau buruk. Karena kita juga harus melihat konteksnya.  

Menurut pandangan dangkal saya, cancel culture bisa bernilai positif jika bertujuan untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan agar di kemudian hari tidak mengulangi perbuatannya. Cancel culture bisa menjadi alat mobilisasi massa yang akan mendorong si pelaku untuk mendapat sanksi hukum dan korban mendapat keadilan.

Cancel culture bisa menjadi pelajaran dan alarm peringatan bagi semua orang bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kerap digembar-gemborkan itu sebenarnya juga mengandung konsekuensi dan tanggung jawab. 

Maka berhati-hati terhadap tindakan, ucapan atau unggahan di media sosial itu perlu. Tidak semua hal bisa dan boleh kita lakukan/ucapkan/unggah ke ranah publik.

Jika kita mau belajar memahami konteks dari suatu gerakan cancel culture, maka hal ini dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran dan kepedulian akan suatu isu, misalnya pelecehan seksual, rasisme, intoleransi, kesehatan mental dan sebagainya.

Namun cancel culture juga bisa bernilai negatif ketika ia tidak lagi fokus pada objeknya. Perspektif kita dalam menilai sesuatu jadi sempit sehingga kita terlalu mudah menghakimi orang lain.

Katakanlah seorang musisi terkenal dengan jam terbang tinggi di dunia musik dan telah menelurkan banyak karya, akibat satu kesalahan yang membuat publik kecewa, ia akhirnya di-cancel. Setelah itu orang-orang jadi tidak mau lagi mendengarkan lagu-lagunya.

Tidak peduli sebagus apa karyanya, pokoknya kalau yang buat musisi itu, orang-orang langsung berkomentar pedas. Dan komentarnya pun bukan ditujukan atas karyanya melainkan pada pribadi orangnya.

Padahal karya dan kesalahan pribadi musisi tersebut adalah dua hal yang berbeda. Ia mungkin seorang yang problematik secara personal. Tapi dalam konteks menilai sebuah karya, kita harus memandangnya sebagai seorang musisi, bukan memandangnya sebagai pribadi yang problematik.

Ketika kita tidak bijaksana dan terlalu mudah percaya cerita orang, cancel culture bisa membuat kita terjebak pada mob mentality alias mentalitas ikut-ikutan menghakimi orang lain tanpa perlu mencari tahu kebenarannya.

Seperti yang pernah terjadi pada pesohor, Johnny Depp dan Amber Heard, di mana cancel culture bisa jadi blunder.

Amber Heard yang awalnya didukung karena dugaan pelecehan yang dilakukan oleh Johnny Depp, akhirnya mengakui kalau yang terjadi justru sebaliknya. Padahal publik sudah kadung marah-marah duluan pada Johnny Depp.

Perlukah Cancel Culture sebagai Sanksi Sosial?

perlukah cancel culture sebagai sanksi sosial | photo by cottonbro from pexels
perlukah cancel culture sebagai sanksi sosial | photo by cottonbro from pexels

Terlepas dari pro kontra, cancel culture bisa jadi semacam sanksi sosial yang diberikan pada seseorang yang melakukan tindakan ofensif atau kontroversial. Namun perlukah kita melakukan boikot pada mereka?

Menurut pemikiran ngawur saya, cancel culture ini abu-abu. Seperti halnya menyatakan apakah cancel culture ini baik atau buruk, soal perlu tidaknya cancel culture juga tidak bisa dinilai sehitam putih itu.

Kalau kita lihat kasus Saipul Jamil, misalnya, perlukah kita menghabisi kariernya dengan memboikotnya dari seluruh stasiun TV dan kanal YouTube? Yang seharusnya diboikot itu Saipul Jamil atau glorifikasi atas dirinya yang baru saja bebas dari penjara?

Jika cancel culture diperlukan untuk menggerakkan massa agar seseorang yang melakukan kejahatan atau tindakan-tindakan kontroversial bisa diproses secara legal, lantas apakah itu masih diperlukan ketika orang tersebut telah mendapat sanksi hukum yang setimpal?

Lalu, sebesar apakah dampak cancel culture ini bagi orang yang di-cancel? Karena menurut Natalie Wynn, host kanal YouTube ContraPoints, cancel culture tidak begitu memiliki konsekuensi nyata bagi masyarakat kelas atas dan malah lebih berdampak bagi masyarakat kelas bawah. Penyebabnya adalah masyarakat kelas atas punya banyak dukungan.

Hal yang wajar karena secara ekonomi mereka sangat mapan ditambah punya relasi ke orang-orang "kuat dan berpengaruh".

Dan sampai kapankah cancel culture ini bertahan? Jangan-jangan boikot ini hanya terjadi sesaat dan besok-besok orang sudah lupa.

Jadi, masih perlukah cancel culture? Silakan berkomentar.

Referensi: 1, 2, 3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun