Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Selamat Datang Usia 27, Semoga Tidak Bernasib Seperti Anggota Klub 27

1 September 2021   12:06 Diperbarui: 1 September 2021   12:09 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat datang usia 27!

Dalam dunia hiburan, mitos tentang Klub 27 (Club 27) merujuk pada fenomena meninggalnya musisi dan pesohor dunia pada usia 27 tahun. Awal mula penamaan ini terjadi pada tahun 1970 (iya, saya belum lahir) ketika Ratu Rock & Roll, Janis Joplin, meninggal akibat overdosis heroin. Kematiannya itu hanya berselang dua minggu setelah kematian Jimi Hendrix yang bunuh diri dengan barbiturat. Keduanya meninggal dunia pada usia 27 tahun.

Setahun kemudian, musisi Jim Morrison meninggal dunia di usia yang sama akibat bunuh diri.

Kematian para legenda yang terjadi beruntun dalam waktu singkat itulah yang menjadi inti gagasan terciptanya Klub 27.

Pada tahun-tahun setelahnya, muncul juga musisi-musisi lain yang meninggal dunia di usia 27 tahun seperti Brian Jones (1938), Robert Johnson (1938), Kurt Cobain (1994), Amy Winehouse (2001) hingga Idol K-Pop Jonghyun SHINee (2017).

Motif kematian mereka memang beragam, tapi satu kesamaan, yaitu kematian pada usia 27 tahun, rupanya menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran di balik mitos Klub 27.

Lalu, apa hubungannya dengan artikel ini? Apakah penulisnya punya niat bunuh diri biar bisa gabung dalam Klub 27 bersama para legenda tersebut?

Oh, tentu saja tidak. Tapi doakan saja semoga artikel yang Anda baca ini bukanlah artikel terakhir yang penulis tulis.

Ngomong-ngomong, apa sih yang akan terjadi pada seseorang di usia 27? Tambah tua, pasti. Semakin mendekati usia 30 tahun atau menuju late 20's, jelas. Kontrak hidupnya di dunia semakin berkurang, tentu saja.

Kalau kata peneliti di Trust Alzheimer dalam BBCnews, di usia 27 tahun,tubuh seseorang secara alamiah mengalami kemunduran mental yang tak terelakkan secara biologis. Lebih lanjut, penurunan hingga gangguan mental dapat menimbulkan potensi depresi, seperti perasaan sedih, gelisah dan hampa.

Duh, kok ngeri ya? Apa karena tekanan hidup dan ekspektasi dari lingkungan yang semakin tinggi sehingga seseorang lebih rentan mengalami krisis mental?

Kalau sudah begini, biasanya akan timbul pertanyaan pada diri, "apa yang sudah kamu lakukan sampai sekarang?", "apa yang kamu punya di usia ini?" sampai "kamu siap nggak menjadi dewasa?"

Ini pertanyaan horor bagi saya karena sampai saat ini saya tidak tahu atau lebih tepatnya tidak percaya diri dalam menjawabnya. Terutama pertanyaan kedua dan ketiga.

Aneh kan? Padahal pertanyaan ini muncul dari pikiran saya dan ditujukan untuk saya sendiri.

Baiklah, demi kesehatan mental saya sendiri, nampaknya saya perlu berhenti sejenak dari membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Perasaan insecure itu akan selalu ada karena memang tidak mudah mengendalikan pikiran.

Maka membandingkan diri saya hari ini dengan diri saya di masa lalu adalah pilihan yang lebih baik.

Jadi, apa sih yang sudah berhasil saya ubah dari diri saya?

Pertama, saya lebih peduli pada kebutuhan dan kesehatan tubuh

Saya agak menyesal karena cukup sering bersikap zalim pada tubuh sendiri. Makanya saya benar-benar minta maaf untuk itu. 

Sekarang saya mulai lebih rajin merawat kebersihan dan kesehatan kulit, lebih disiplin menjaga pola makan dan istirahat, lebih rajin olahraga.

Nah, yang terakhir inilah yang sedang saya perjuangkan agar menjadi kebiasaan baru karena sebelumnya saya memang malas olahraga. Memang baru berjalan sebulan terakhir ini sih. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?

Sebelumnya saya juga suka telat makan, terutama makan siang dan malam. Kadang bukan cuma telat, tapi benar-benar tidak makan sama sekali.

Pekerjaan yang dilakukan lebih banyak duduk dan menatap layar laptop, sudah begitu malas gerak pula. Sementara penyakit-penyakit seperti jantung, stroke, darah tinggi, diabetes, sekarang tidak lagi hanya menyerang lansia. Jadi, saya merasa butuh melakukan perubahan kecil ini.

Kedua, saya lebih santai dan tenang dalam menyikapi kegagalan atau sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana

"Manusia boleh berencana tapi Tuhan yang menentukan."

Saya memang hafal nasihat ini. Namun susah sekali untuk memaknai dan menjalankannya.

Apalagi saya merupakan orang yang perfeksionis sehingga satu kesalahan dan kegagalan kecil akan membuat saya frustrasi. Saya akan menyalahkan diri dan melontarkan hujatan pada diri saya.

Lama kelamaan saya merasa lelah. Lelah bermusuhan dan membenci diri sendiri. Dan itu membuat saya sakit.

Akhirnya demi kesehatan mental saya, saya mulai belajar untuk memaafkan diri sendiri. Saya merangkul seluruh kesalahan, kebodohan, kegagalan yang pernah terjadi. Saya memeluk seluruh luka, menyembuhkan dan berkata pada diri saya "tidak apa-apa, setidaknya kamu sudah berusaha".

Ketiga, saya lebih berani melawan ketika terjebak pada hubungan yang beracun (toxic relationship)

Sebenarnya saya benci menceritakan ini. Tapi saya pikir menceritakannya sedikit di sini tidak buruk-buruk amat. Siapa tahu bisa jadi pelajaran juga.

Oke, jadi, sebulan setelah ulang tahun saya yang ke-26, saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan laki-laki yang saya cintai pada waktu itu. Padahal kami punya rencana untuk hidup dan menata masa depan bersama. Sudah saling kenalan dengan orangtua masing-masing pula.

Orang-orang mungkin akan bertanya, "kalau sudah seserius itu, mengapa harus bubar? Kan sayang banget".

Sah-sah saja orang berpikir begitu. Tapi sekali lagi saya katakan, ini hubungan kami. Jadi, kami lah yang lebih tahu apa yang terjadi pada hubungan ini.

Saya tidak akan membeberkan secara gamblang alasan saya memilih berpisah. Saya sayang dia, tapi memaksa bertahan apalagi melanjutkan hubungan yang beracun ke jenjang pernikahan adalah bencana.

Saya memang tidak membuat perubahan besar. Bagi anda mungkin itu biasa saja. Tapi bagi saya itu semacam prestasi jika saya berhasil menjalaninya secara konsisten. Dan sekali lagi, saya berhak untuk merayakannya.

Referensi : 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun