Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tubuh Perempuan Sebenarnya Milik Siapa?

24 Agustus 2021   10:38 Diperbarui: 26 Agustus 2021   14:02 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tubuh perempuan dalam berbagai bentuk | Photo by Anna Shvet from pexels

Konsep otoritas tubuh sejatinya adalah saat seseorang mau dan mampu menjadikan tubuhnya sendiri otonom. Maksudnya adalah setiap tubuh, baik milik laki-laki maupun perempuan, adalah milik individu bukan milik kelompok atau orang lain sehingga masing-masing individu berhak dan bertanggung jawab untuk mengatur tubuhnya sendiri.

---

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa mbak-mbak SPG (Sales Promotion Girl) di mall-mall, misalnya, harus pakai rok mini yang ketat dan sepatu hak tinggi? Apakah kaki mereka tidak sakit? Padahal selama bekerja mereka lebih banyak berdiri daripada duduk.

Pada laga perebutan medali perunggu di Kejuaraan Eropa 2021 lalu, tim bola tangan pantai Norwegia didenda 1.500 euro karena menolak memakai bikini. Mereka merasa tidak nyaman dengan pakaian yang terlalu terbuka sehingga mengenakan celana pendek saat bertanding.

Di beberapa cabang olahraga, seragam atlet putri memang ada yang lebih terbuka, seperti voli pantai, renang, gymnastic dan sebagainya. Namun pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa mereka harus berbikini? Mengapa pakaian atlet putri harus diatur sedemikian rupa sementara aturan berpakaian atlet putra tidak sebegitu ribetnya?

Baiklah, Anda bisa bilang "Ya aturannya sudah begitu dari sononya. Kalau nggak mau ikut ya nggak usah main".

Tapi kan, mereka atlet. Harusnya yang lebih dilihat adalah performa mereka di lapangan, dong!

Begitu juga perihal mbak-mbak SPG.

Iya, saya tahu pekerjaan mereka memang menuntut untuk berpenampilan menarik. Tapi penilaian kinerja harusnya lebih penting daripada sekadar penampilan.

Lalu, soal pakaian, emang nggak bisa ya, memberi mereka pakaian seragam yang lebih nyaman tapi tetap presentable?

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana budaya patriarki telah mengajarkan pada perempuan seolah tubuhnya bukan otoritasnya sendiri.

Tubuh perempuan selama ini diatur oleh lingkungan sosial melalui seperangkat aturan dan larangan sehingga perempuan harus selalu diberi tahu apa yang boleh dan tidak boleh mereka pakai serta apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan atas tubuh mereka.

Itu baru soal pakaian.

Dalam relasi pernikahan, masalahnya bisa lebih runyam lagi. 

Jika perempuan lajang merasa bahwa pertanyaan "kapan nikah?" adalah pertanyaan horor, maka setelah ia menikah, horor berikutnya jauh lebih horor lagi (apaan sih ini?).

Maksudnya adalah tuntutan untuk segera punya momongan setelah menikah.

Anda tahu kabar tentang influencer, Gita Savitri atau Gitasav dan suami, yang memilih childfree?

Jika Anda tahu bagaimana reaksi para netizen atas keputusannya, Anda harusnya sadar betapa perempuan yang telah menikah mendapat tuntutan dan tekanan sosial yang jauh lebih berat.

Okelah, mungkin Gitasav atau Anda sebagai perempuan, beruntung bisa punya pasangan yang demokratis dan mengizinkan Anda untuk memilih apakah mau punya anak atau tidak. 

Masalahnya, kehidupan pernikahan tidak hanya terdiri dari Anda dan pasangan. Ada orangtua, ada mertua, ada ipar dan ada masyarakat sekitar.

Pasangan bisa jadi setuju untuk childfree. Tapi, apa kata orangtua, mertua dan masyarakat?

Pasangan suami istri (pasutri) yang menginginkan anak pun bukan berarti bebas tuntutan dan tekanan. 

Ketika usia pernikahan semakin bertambah namun belum juga dikaruniai anak, ada saja komentar miring mampir. Biasanya dialamatkan kepada perempuan atau istri. Yang lebih menyakitkan tentu saja jika keluarga atau pasangan akhirnya ikut menghakimi atau berprasangka macam-macam karena terpengaruh oleh "suara-suara" di luar sana.  

Ada pun yang sudah dikaruniai satu anak, masih saja dicecar lagi dengan pertanyaan akan anak kedua, ketiga dan seterusnya. Saya heran, emang kenapa sih kalau punya anak cuma satu? Anda mau saingan banyak-banyakan anak ya?

Bahasan tentang otoritas tubuh perempuan memang sangat kompleks dan memiliki banyak pendapat. Namun pendapat paling umum yang sering didengar dari masalah ini adalah pro-life atau pro kehidupan dan pro-choice atau pro pilihan (baca : disandarkan pada pilihan masing-masing individu).

Pro-life adalah pandangan yang paling banyak dan umum dianut oleh masyarakat, yaitu setelah menikah harus punya anak untuk meneruskan keturunan. Sementara pasutri yang memilih childfree, termasuk penganut pandangan pro-choice. Contoh lain yang kerap disangkutpautkan dengan pandangan pro-choice adalah praktik aborsi (baik yang legal maupun ilegal).

Sayangnya, pandangan pro-choice yang lebih menekankan pada otoritas tubuh kerap menuai hujatan hanya karena dianggap bukan sesuatu yang lazim di masyarakat. Seperti pasutri childfree yang dianggap egois, tidak bersyukur dan menyalahi kodrat atau perempuan yang dianggap seolah "pembunuh" karena memilih aborsi atas kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Stigma negatif lainnya yang berhubungan dengan otoritas tubuh adalah tentang konsep keperawanan dan keperjakaan. Perempuan yang masih perawan diidentikkan sebagai perempuan baik-baik sedangkan yang sudah tidak perawan dianggap perempuan nakal. Sementara laki-laki yang kehilangan keperjakaannya sebelum menikah, nggak pernah tuh dapat stigma negatif sebagai laki-laki nakal.

Konsep otoritas tubuh sejatinya adalah saat seseorang mau dan mampu menjadikan tubuhnya sendiri otonom. Maksudnya adalah setiap tubuh, baik milik laki-laki maupun perempuan, adalah milik individu bukan milik kelompok atau orang lain sehingga masing-masing individu berhak dan bertanggung jawab untuk mengatur tubuhnya sendiri.

Seseorang akan memahami otoritas tubuhnya ketika memiliki pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk tubuhnya, misal pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, consent (persetujuan afirmatif yang diberikan secara sadar dan sukarela untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual maupun non seksual) dan sebagainya.

Oleh karena itu, pendidikan seks penting diberikan sejak dini untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap orang punya otoritas tubuh. Kesadaran ini akan membuat seseorang lebih menghargai dan menghormati setiap tubuh, baik tubuhnya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, ia akan mampu menerapkan batasan, apa yang harus dilakukan dan dijaga saat berada dalam pergaulan atau lingkungan sosial.

Referensi : satu, dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun