Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kalau Sedikit-sedikit Dilarang, Bagaimana Perempuan Bisa Berkembang?

26 April 2021   21:51 Diperbarui: 27 April 2021   09:59 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika masih ada anak perempuan yang dibatasi ruang geraknya, saya justru didorong untuk berani mendobrak batasan. Bagi saya ini adalah privilese di tengah masyarakat yang masih mengotak-ngotakkan aktivitas atau hobi berdasarkan gendernya. Seharusnya ini menjadi hak yang dapat dinikmati oleh setiap perempuan tanpa rasa takut akan stigma, pelecehan dan ketidakamanan lainnya. 

Sejak sebelum masuk SD, saya sudah aktif di berbagai kegiatan. 

Umur 5 tahun, saya sudah mulai belajar mengaji. Ikut TPA yang rutin diadakan di masjid komplek. 

Di umur yang sama, orangtua mengikutkan saya les renang untuk anak-anak. Saya ingat betul, waktu itu dapat pelatih yang killer sampai-sampai saya takut untuk berangkat latihan dan ingin bolos saja. Tapi dari sinilah awal mula kedisiplinan dan mental saya terbentuk. 

Saat SD saya pernah ikut ekstrakurikuler (ekskul) tari. Tapi hanya bertahan sebentar. Saya lupa kenapa. 

Mungkin karena saya lebih tertarik dengan seni suara dan musik atau bagaimana, akhirnya saya lebih memilih ikut paduan suara. 

Di SMP dan SMA pilihan ekskul lebih beragam. 

Saya aktif di beberapa kegiatan, mulai dari yang bersifat akademis, seperti bergabung di tim olimpiade sains (cabang ilmu biologi), sampai yang non akademis, seperti Palang Merah Remaja (PMR), ansamble musik dan jurnalistik. 

Itu baru yang ekskul pilihan. Belum ditambah ekskul wajib, seperti Pramuka dan lain-lain. 

Oiya, gara-gara ekskul jurnalistik lah saya jadi suka menulis. 

Bagaimana dengan organisasi? 

Waktu SMP dan SMA, saya tidak terlalu tertarik berorganisasi. Bukan apa-apa, hanya karena terlalu banyak diisi oleh "anak-anak hits"(anak-anak populer maksudnya), saya jadi malas bergabung haha. 

Walaupun begitu, saya aktif di Remaja Masjid dan perkumpulan pemudi-pemuda komplek. Cukup lama saya berkiprah disitu hingga tergantikan oleh generasi di bawahnya. 

Ya, regenerasi harus tetap berjalan. 

Akibat doktrin senior dan kepolosan mahasiswa baru (maba) yang baru menginjakkan kaki di dunia kampus, membuat saya dan teman-teman maba yang lain terbujuk rayuan maut senior. 

Akhirnya bergabunglah saya di BEM Fakultas Ekonomi di kampus saya. 

Kalau ditanya motivasi, saya bingung mau jawab apa. Karena memang sebenarnya tidak punya motivasi yang benar-benar kuat. 

Hanya karena terbius jargon "mahasiswa adalah agent of change" yang waktu itu terdengar heroik. Yang di kemudian hari saya sadari bahwa menjadi agent of change tidak semudah koar-koar senior saat ospek. 

Karena merasa tidak cocok dengan organisasi yang bercorak politis (emang dasar saya yang tidak berbakat soal politik), saya memilih pamit. 

Lalu bergabunglah saya di study club, organisasi kemhasiswaan yang lebih bersifat akademis (jangan dibayangkan orang-orang yang bergabung disini adalah orang-orang yang selalu serius dan kalau bicara pakai teori ndakik-ndakik). Disinilah saya mengabdikan diri sampai lulus dan menjadi salah satu orang penting dalam organisasi. 

Kenapa Saya Mau Ikut Banyak Kegiatan? 

Orangtua tidak pernah melarang saya untuk aktif mengembangkan diri di luar urusan akademis. 

Orangtua, terutama mama, hanya mengingatkan agar saya tidak lupa dengan tanggung jawab utama, yaitu sekolah dan kuliah. Jangan sampai saya terlalu capek dengan kegiatan ekskul atau organisasi sehingga mengganggu waktu belajar, ibadah bahkan istirahat. 

Apakah sulit membagi waktu untuk semua kesibukan itu? Tentu saja iya. 

Bahkan bukan cuma harus pintar mengatur waktu, tapi juga harus pintar mengatur energi. 

Belum lagi kalau saya harus rapat atau ada kegiatan sampai malam, kemudian paginya ada ujian, kuliah atau presentasi tugas jam 7 pagi. Bagaimana saya harus me-manage waktu dan energi agar semuanya beres? 

Nah, inilah tantangan sekaligus keseruannya. 

Terlepas dari tantangan dan hambatan yang ada, saya belajar sesuatu dari hal ini. 

Saya jadi belajar untuk mampu menyusun skala prioritas dan menjadi lebih disiplin serta bertanggung jawab atas pilihan yang saya ambil sendiri. 

Selain itu, saya juga belajar untuk berani menunjukkan sisi lain diri saya yang barangkali jarang atau belum pernah saya tunjukkan. Make myself out of the shell. Begitulah saya mengistilahkannya. 

Saya adalah seorang introvert garis keras yang irit bicara dan penyendiri yang tabah. 

Spesies ini di mata beberapa orang distigmakan sebagai makhluk ansos (anti sosial) dan nggak niat hidup. 

Hal ini membuat harga diri saya sedikit terluka dan ingin mematahkan stigma tersebut. 

Pelajaran lain yang saya dapatkan tentu saja tentang kerja sama, leadership, kemampuan komunikasi, critical thinking, kepekaan sosial dan masih banyak lagi. 

Dukungan bagi Perempuan untuk Melakukan Hobinya

Sejak kecil perempuan sudah akrab dengan kata-kata larangan, seperti "jangan" atau "tidak boleh" tanpa penjelasan atau alasan yang masuk akal.

Akibatnya perempuan selalu merasa inferior, insecure dan takut mengambil keputusan. 

Di saat ada perempuan dengan kecerdasan dan talenta yang terasah serta memiliki support system yang solid, masih ada perempuan yang berjuang agar mendapatkan hak-haknya. 

Di saat ada perempuan dengan keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi sehingga mampu mendobrak batasan yang selama ini berpihak pada ketidakadilan, masih ada perempuan yang menganggap bahwa hidupnya adalah ketundukan mutlak. Akibatnya ia tak bebas menyuarakan isi pikiran dan hatinya karena akan dicap sebagai pembangkangan. 

Sampai untuk mengekspresikan diri melalui hobinya pun, masih ada perempuan yang mendapat hambatan dan stigma. 

Perempuan dengan hobi maskulin, seperti olahraga dan otomotif, dianggap kurang cocok bagi perempuan sampai diragukan keperempuanannya. 

Sementara perempuan dengan hobi feminin, seperti fesyen dan make up, sering dianggap kecentilan. 

Sedikit-sedikit dilarang. Sedikit-sedikit dianggap menyalahi kodrat. Lalu, bagaimana perempuan bisa mengembangkan potensinya, jika tidak ada dukungan? Bagaimana perempuan bisa menjalankan hobinya, jika masih ada stigma yang mengotak-ngotakkan hobi atau aktivitas yang mereka jalankan dengan gendernya? 

Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin itu mutlak. Hasil ciptaan Tuhan sehingga bersifat kodrati. 

Sedangkan gender adalah hasil dari konstruksi sosial sehingga bisa dipertukarkarkan. Seperti perempuan dengan hobi maskulin atau laki-laki dengan hobi feminin. 

Apakah hal itu salah? Apakah hal itu pantas? Saya persilakan Anda untuk menjawabnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun