Pemikiran Kartini tentang pendidikan bagi perempuan pada masa itu dianggap melanggar kodrat perempuan dan tradisi masyarakat Jawa.
Ratusan tahun setelah Kartini mencetuskan ide emansipasi pun masih ada yang belum bisa menghargai potensi dan kompetensi perempuan. Sampai-sampai perempuan tidak diberi kesempatan menjadi pemimpin dengan alasan posisi perempuan adalah di bawah laki-laki.
Oke, kembali ke topik artikel ini.
Kita hidup di masyarakat yang menganut paham "banyak anak banyak rezeki".
Oleh karena itu, semua perempuan yang sudah bersuami "wajib" hukumnya untuk punya anak. Kalau ini tidak dipenuhi, siap-siap perempuan akan menerima stigma "bukan perempuan utuh" atau "bukan perempuan sejati ", baik dari keluarga sendiri maupun masyarakat.
Pandangan ini menjadi problematik ketika kita dihadapkan pada isu infertilitas.
Apa itu infertilitas?
Infertilitas didefinisikan sebagai kondisi ketika perempuan tidak kunjung hamil, meski telah rutin melakukan hubungan seksual tanpa pengaman atau telah menjalani program kehamilan selama 1 tahun atau lebih.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada sekitar 48 juta pasangan atau 186 juta individu mengalami infertilitas atau gangguan kesuburan.
Di Indonesia, infertilitas dialami oleh lebih 20% penduduk Indonesia, dengan rincian sebanyak 40% terjadi pada perempuan, 40% terjadi pada laki-laki dan sebanyak 20% terjadi pada keduanya.
Berdasarkan penyebab kegagalan kehamilan, hasil survei yang dilakukan terhadap pasangan suami istri yang telah menikah selama 12 bulan, diperoleh bahwa sebanyak 40% disebabkan oleh infertilitas pada laki-laki , 40% disebabkan oleh infertilitas pada perempuan, 10% disebabkan oleh keduanya dan 10% tidak diketahui penyebabnya.