Riset yang dirilis oleh Harvard Business School menunjukkan sebanyak 56% perempuan yang bekerja di industri teknologi memilih resign dari pekerjaannya dikarenakan kultur perusahaan yang seksis.
Saya juga kerap mendengar cerita teman-teman perempuan yang berlatar belakang pendidikan Fakultas Teknik mengalami kesulitan ketika ingin bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya karena kualifikasi yang dicari sebagian besar adalah untuk laki-laki.
Kalau pun mereka mendapatkan pekerjaan tersebut, kadang-kadang malah diberikan job desc lain yang tidak berhubungan dengan posisinya.
Misalnya, seorang perempuan bekerja sebagai software engineer namun ia malah lebih banyak diberi pekerjaan-pekerjaan administratif sehingga skill tekniknya kurang berkembang.
Di sektor pemerintahan dan birokrasi, ketimpangan gender pada jabatan struktural PNS masih signifikan.
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) periode 2011-2012 dan 2014-2016 yang diolah oleh lembaga riset Cakra Wikara Indonesia (CWI) menunjukkan saat rekruitmen, proporsi laki-laki dan perempuan di 34 kementerian relatif berimbang. Namun, seiring perjalanan karier, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon masih jauh lebih sedikit daripada PNS laki-laki.
Pada periode 2011-2012, PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon 1-5 hanya 22,38%. Naik sedikit pada periode 2015-2016 dengan persentase sebesar 23,48% setelah UU ASN berlaku.
Ketimpangan ini rupanya juga terjadi pemerintahan daerah (pemda).
Kepala Sub Bagian Perencanaan Karier Pegawai BKN, Eunike Prapti Lestari Krissetyanti, mengatakan adanya peningkatan jumlah PNS perempuan dari tahun ke tahun. Tahun 2018, PNS perempuan mendominasi 51% dari total PNS seluruh Indonesia.
Namun, peningkatan ini masih belum diikuti peningkatan signifikan pada jabatan struktural. Tercatat bahwa secara nasional hanya 13% jabatan utama dan madya yang diduduki oleh perempuan.