Namun, di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, khususnya di industri-industri teknologi sekelas Silicon Valley, glass escalator tidak hanya terkait masalah gender, tapi juga aspek lain, seperti latar belakang ras, etnis bahkan orientasi seksual.Â
Dan yang lebih diuntungkan adalah laki-laki kulit putih heteroseksual dibandingkan laki-laki kulit hitam, keturunan Asia dan laki-laki Hispanic yang merupakan minoritas.
Fenomena Glass Ceiling di Dunia Kerja
Glass ceiling bisa menghambat perempuan untuk meraih posisi-posisi strategis dalam perusahaan. Oleh karena itu, kerap ditemukan bahwa semakin tinggi posisi atau jabatan, jumlah perempuan yang mendudukinya semakin sedikit.
Apabila digambarkan dalam bentuk piramida, maka jumlah perempuan yang menduduki posisi eksekutif makin mengerucut. Contohnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Dari daftar S&P 500 Companies pada gambar di atas, diketahui bahwa hanya ada 29 perempuan atau sekitar 5,8% yang menyandang jabatan CEO.
Bahkan di industri yang cewek banget sekali pun, seperti industri fesyen, hanya 14% brand besar yang dipimpin perempuan.
Hal yang sama juga terjadi pada industri kosmetik atau produk-produk kecantikan, di mana konsumennya mayoritas perempuan dan produk-produk yang dipasarkan adalah produk-produk yang biasa dikonsumsi perempuan.
Sebut saja, perusahaan-perusahaan yang menaungi brand-brand kosmetik ternama dunia, seperti Estee Lauder Companies Inc. dengan persentase perempuan dalam jabatan eksekutif 20%, L'Oreal Group sebesar 28%, dan Coty Inc sebesar 0%.
Di male-dominated industry nasib pekerja perempuan juga sama mirisnya.