Tanggal 22 Maret kemarin kita memperingati Hari Air Sedunia. Peringatan Hari Air tahun ini mengusung tema "Valuing Water" atau "Menghargai Air" yang menekankan tentang pentingnya air bagi manusia dan bagaimana kita dapat melindungi sumber daya vital ini dengan lebih baik.
Ide tentang peringatan Hari Air sendiri dimulai pada tahun 1992 saat berlangsungnya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio De Janeiro, Brazil. Selanjutnya, mulai tahun 1993 hingga saat ini, Hari Air selalu diperingati setiap tahunnya pada tanggal 22 Maret.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk bumi, penggunaan air secara global meningkat tiga kali lipat dalam kurun 50 tahun terakhir. Hal ini juga memengaruhi persediaan dan kualitas air secara global.
Berdasarkan data UN Water PBB, saat ini 1 dari 3 orang tidak memiliki akses terhadap pasokan air minum yang aman untuk dikonsumsi. Pada tahun 2050 mendatang, diperkirakan akan ada 5,7 miliar orang yang tinggal di daerah kekurangan air, setidaknya selama satu bulan dalam setahun.
Jumlah penduduk bumi yang terus meningkat ditambah dengan aktivitas-aktivitas manusia yang merusak lingkungan, turut andil dalam menyebabkan krisis air bersih.Â
Membuang sampah sembarangan, penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali, pembuangan limbah pabrik secara langsung ke sungai adalah contoh-contoh dari aktivitas tersebut.
Kemudian, maraknya gentrifikasi di daerah perkotaan, yang ditandai dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, selain berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat sekitar, juga bisa berdampak negatif pada kondisi air tanah.
Di Indonesia, hal ini tidak hanya terjadi di kota metropolitan seperti Jakarta. Namun juga terjadi di Yogyakarta yang lekat dengan keramahan dan kesederhanaannya.
Lalu, apa itu gentrifikasi dan bagaimana ia bisa berdampak buruk pada ketersediaan air bersih bagi masyarakat sekitar?
Pengertian Gentrifikasi
Ada beragam definisi mengenai gentrifikasi yang dikemukakan oleh para ahli tata lingkungan.Â