Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Yogyakarta, Gentrifikasi, dan Alarm Krisis Air

24 Maret 2021   08:51 Diperbarui: 25 Maret 2021   08:14 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Trotoar di sisi timur Jalan Malioboro, Yogyakarta, Kamis (14/4/2016) petang.| Sumber: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Namun, secara sederhana, seperti yang dipaparkan oleh Guru Besar Geografi Manusia dari University of Leicester, Loretta Lees, gentrifikasi adalah sebuah proses transformasi kawasan yang dihuni oleh masyarakat miskin perkotaan menjadi kawasan elit, dengan aneka properti mewah yang hanya dapat dinikmati oleh pekerja kerah putih (pekerja kelas menengah) atau properti yang digunakan untuk tujuan komersil, seperti pertokoan, perkantoran atau sarana akomodasi.

Jenis properti yang mendominasi suatu kawasan bisa jadi berbeda-beda. Tergantung dari karakteristik wilayah tersebut.

Misalnya, untuk daerah-daerah yang merupakan pusat ekonomi dan bisnis seperti DKI Jakarta, maka properti yang mendominasi adalah gedung-gedung perkantoran. 

Lalu, untuk daerah-daerah dengan karakteristik kota wisata, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Bali, maka properti yang banyak bermunculan berupa sarana akomodasi, hotel misalnya.

Awal Mula Fenomena Gentrifikasi

Gentrifikasi pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog London, Inggris, bernama Ruth Glass, yang tengah mengamati fenomena unik dan baru yang terjadi di Distrik Islington.

Pasca Perang Dunia II tahun 1960-an, saat perekonomian mulai bangkit, muncul fenomena suksesi pemukiman pekerja kerah biru (kaum miskin kota) oleh pekerja kerah putih yang banyak berdatangan ke kota untuk bekerja.  

Kaum miskin kota dipaksa pergi dari pemukiman tempatnya tinggal oleh tuan tanah karena properti tersebut akan disewakan kepada para pekerja kerah putih.

Dalam stratifikasi aktor pertanian pedesaan Inggris abad ke-18, posisi pekerja kerah putih dinilai lebih tinggi dari buruh tani namun lebih rendah dari tuan tanah. 

Mereka memiliki kesejahteraan ekonomi yang lebih baik dengan profesi yang cukup mentereng, seperti pemuka agama atau pegawai kerajaan, namun tidak memiliki gelar bangsawan. 

Oleh karena itu, Glass menyebut fenomena ini sebagai gentrifikasi, yang merujuk pada kedatangan kaum gentri (pekerja kerah putih) menggantikan keberadaan kaum miskin kota.

Dalam perkembangannya, istilah gentrifikasi tidak hanya sebatas fenomena perebutan hunian. Kini, gentrifikasi lebih dikaitkan dengan aliran investasi properti, yaitu investor akan berupaya mencari properti yang paling menguntungkan. Itulah sebabnya karakteristik dari suatu wilayah menjadi pertimbangan mereka.

Dampak Gentrifikasi terhadap Ketersediaan Air bagi Warga Yogyakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun