Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Yogyakarta, Gentrifikasi, dan Alarm Krisis Air

24 Maret 2021   08:51 Diperbarui: 25 Maret 2021   08:14 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Dodok Putra Bangsa saat memprotes keberadaan Fave Hotel yang tidak jauh dari rumahnya di daerah Miliran-tribunews.com

Tanggal 22 Maret kemarin kita memperingati Hari Air Sedunia. Peringatan Hari Air tahun ini mengusung tema "Valuing Water" atau "Menghargai Air" yang menekankan tentang pentingnya air bagi manusia dan bagaimana kita dapat melindungi sumber daya vital ini dengan lebih baik.

Ide tentang peringatan Hari Air sendiri dimulai pada tahun 1992 saat berlangsungnya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio De Janeiro, Brazil. Selanjutnya, mulai tahun 1993 hingga saat ini, Hari Air selalu diperingati setiap tahunnya pada tanggal 22 Maret.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk bumi, penggunaan air secara global meningkat tiga kali lipat dalam kurun 50 tahun terakhir. Hal ini juga memengaruhi persediaan dan kualitas air secara global.

Berdasarkan data UN Water PBB, saat ini 1 dari 3 orang tidak memiliki akses terhadap pasokan air minum yang aman untuk dikonsumsi. Pada tahun 2050 mendatang, diperkirakan akan ada 5,7 miliar orang yang tinggal di daerah kekurangan air, setidaknya selama satu bulan dalam setahun.

Jumlah penduduk bumi yang terus meningkat ditambah dengan aktivitas-aktivitas manusia yang merusak lingkungan, turut andil dalam menyebabkan krisis air bersih. 

Membuang sampah sembarangan, penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali, pembuangan limbah pabrik secara langsung ke sungai adalah contoh-contoh dari aktivitas tersebut.

Kemudian, maraknya gentrifikasi di daerah perkotaan, yang ditandai dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, selain berdampak pada sosial-ekonomi masyarakat sekitar, juga bisa berdampak negatif pada kondisi air tanah.

ilustrasi deretan hotel di kawasan Malioboro (sekitar Stasiun Tugu) Yogyakarta-republika.co.id
ilustrasi deretan hotel di kawasan Malioboro (sekitar Stasiun Tugu) Yogyakarta-republika.co.id

Di Indonesia, hal ini tidak hanya terjadi di kota metropolitan seperti Jakarta. Namun juga terjadi di Yogyakarta yang lekat dengan keramahan dan kesederhanaannya.

Lalu, apa itu gentrifikasi dan bagaimana ia bisa berdampak buruk pada ketersediaan air bersih bagi masyarakat sekitar?

Pengertian Gentrifikasi

Ada beragam definisi mengenai gentrifikasi yang dikemukakan oleh para ahli tata lingkungan. 

Namun, secara sederhana, seperti yang dipaparkan oleh Guru Besar Geografi Manusia dari University of Leicester, Loretta Lees, gentrifikasi adalah sebuah proses transformasi kawasan yang dihuni oleh masyarakat miskin perkotaan menjadi kawasan elit, dengan aneka properti mewah yang hanya dapat dinikmati oleh pekerja kerah putih (pekerja kelas menengah) atau properti yang digunakan untuk tujuan komersil, seperti pertokoan, perkantoran atau sarana akomodasi.

Jenis properti yang mendominasi suatu kawasan bisa jadi berbeda-beda. Tergantung dari karakteristik wilayah tersebut.

Misalnya, untuk daerah-daerah yang merupakan pusat ekonomi dan bisnis seperti DKI Jakarta, maka properti yang mendominasi adalah gedung-gedung perkantoran. 

Lalu, untuk daerah-daerah dengan karakteristik kota wisata, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Bali, maka properti yang banyak bermunculan berupa sarana akomodasi, hotel misalnya.

Awal Mula Fenomena Gentrifikasi

Gentrifikasi pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog London, Inggris, bernama Ruth Glass, yang tengah mengamati fenomena unik dan baru yang terjadi di Distrik Islington.

Pasca Perang Dunia II tahun 1960-an, saat perekonomian mulai bangkit, muncul fenomena suksesi pemukiman pekerja kerah biru (kaum miskin kota) oleh pekerja kerah putih yang banyak berdatangan ke kota untuk bekerja.  

Kaum miskin kota dipaksa pergi dari pemukiman tempatnya tinggal oleh tuan tanah karena properti tersebut akan disewakan kepada para pekerja kerah putih.

Dalam stratifikasi aktor pertanian pedesaan Inggris abad ke-18, posisi pekerja kerah putih dinilai lebih tinggi dari buruh tani namun lebih rendah dari tuan tanah. 

Mereka memiliki kesejahteraan ekonomi yang lebih baik dengan profesi yang cukup mentereng, seperti pemuka agama atau pegawai kerajaan, namun tidak memiliki gelar bangsawan. 

Oleh karena itu, Glass menyebut fenomena ini sebagai gentrifikasi, yang merujuk pada kedatangan kaum gentri (pekerja kerah putih) menggantikan keberadaan kaum miskin kota.

Dalam perkembangannya, istilah gentrifikasi tidak hanya sebatas fenomena perebutan hunian. Kini, gentrifikasi lebih dikaitkan dengan aliran investasi properti, yaitu investor akan berupaya mencari properti yang paling menguntungkan. Itulah sebabnya karakteristik dari suatu wilayah menjadi pertimbangan mereka.

Dampak Gentrifikasi terhadap Ketersediaan Air bagi Warga Yogyakarta

ilustrasi mural
ilustrasi mural "Jogja Ora Didol" sebagai bentuk protes atas pembangunan hotel-koran.tempo.co

Sejak 2014 lalu, kampanye sosial "Jogja Ora Didol" (Jogja Tidak Dijual) mulai disuarakan oleh beberapa anak muda di Yogyakarta. 

Penggagasnya adalah Dodok Putra Bangsa, seorang aktivis gerakan sosial Warga Berdaya, sebuah gerakan sosial yang diinisiasi warga Yogyakarta untuk merespon maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta.

Pada 6 Agustus 2014, Dodok sempat melakukan protes di depan salah satu hotel di Jalan Kusumanegara dengan cara mandi pasir. Warga Miliran, Kecamatan Umbulharjo ini mengaku bahwa selama tinggal di Yogyakarta, ia tidak pernah mengalami kekeringan meski pada musim kemarau sekali pun.

Oleh karena itu, ia menduga bahwa penyebab sumur-sumur warga sekitar menjadi kering akibat pembangunan hotel yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman tempat tinggalnya. 

ilustrasi Dodok Putra Bangsa saat memprotes keberadaan Fave Hotel yang tidak jauh dari rumahnya di daerah Miliran-tribunews.com
ilustrasi Dodok Putra Bangsa saat memprotes keberadaan Fave Hotel yang tidak jauh dari rumahnya di daerah Miliran-tribunews.com

Di Kota Yogyakarta, hotel adalah jenis properti yang paling diminati oleh investor. Investasi ini dinilai oleh investor memiliki prospek yang cerah karena Yogyakarta sebagai kota destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan setiap tahunnya.

Demi memperlancar aliran investasi, dibuatlah aturan perizinan yang memudahkan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Untuk hotel, waktunya bisa kurang dari 25 hari.

Seingat saya, waktu saya masih kecil, sekitar awal 2000-an, hotel belum sebanyak ini. Saya kurang ingat kapan persisnya pembangunan hotel mulai marak di Yogyakarta. Hampir setiap tahun ada saja hotel baru dibuka. 

Di Provinsi DIY, pembangunan gedung-gedung bertingkat memang lebih banyak terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Tidak hanya berlaku untuk hotel tapi juga apartemen dan mal.

Alih-alih menyejahterakan masyarakat sekitar, pembangunan hotel-hotel tersebut malah lebih banyak menimbulkan masalah.

Riset terkait dampak pembangunan hotel di Yogyakarta terhadap krisis air oleh Eko Teguh Purnomo---peneliti Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta---mengungkapkan sejak tahun 2006 telah terjadi penurunan permukaan air tanah hingga 15-50 sentimeter per tahun.

Akibatnya, warga kesulitan menjangkau air tanah. Sumur-sumur warga kering. Warga pun kesulitan memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tingkat ketergantungan warga Yogyakarta terhadap air tanah terbilang tinggi. Sekitar 51,83% kebutuhan air warga masih dipenuhi dari air tanah.

Dengan maraknya pembangunan hotel yang kebanyakan berdekatan dengan pemukiman warga, warga jadi harus berebut air dengan hotel. Karena sebagian besar kebutuhan air bersih untuk hotel juga dipenuhi dari air tanah.

Padahal peraturan Wali Kota (Perwal) nomor 3 tahun 2014 tentang penyediaan air baku untuk usaha perhotelan di Kota Yogyakarta Pasal 5, mewajibkan seluruh hotel di Kota Yogyakarta menggunakan air dari PDAM Tirtamarta. Sayangnya aturan ini belum sepenuhnya ditaati.

Tercatat dari sekitar 418 hotel yang berdiri di Kota Yogyakarta, baru 156 hotel saja yang menggunakan air PDAM Tirtamarta dalam kegiatan operasionalnya.

Salah satu alasan utamanya adalah masih banyak pengusaha hotel yang memandang penggunaan air PDAM akan memakan biaya operasional lebih besar.

Hotel dengan 400 kamar saja menghabiskan biaya sekitar Rp 2 miliar per bulan jika menggunakan air PDAM. Sementara kalau membuat sumur dalam (sumber airnya adalah air tanah) hanya mengeluarkan biaya Rp 500 juta per bulan.

Apalagi tarif pajak air tanah di Yogyakarta terbilang murah, yaitu hanya Rp 2.000 per meter kubik. Tarif ini jauh lebih murah daripada tarif air PDAM untuk pelanggan komersil---yang di dalamnya mencakup perhotelan---yang tarif pajaknya mencapai Rp 16.500 per meter kubik.

Selain rawan krisis air, penggunaan air tanah juga berisiko bagi kesehatan masyarakat. Sebesar 90% air tanah di Kota Yogyakarta tercemar bakteri Eschericia coli. Konsumsi air yang tercemar bakteri ini dapat menyebabkan seseorang terserang diare, gangguan ginjal, penyakit jantung dan meningkatkan risiko hipertensi.

Wasana Kata

Pembangunan tidak selalu berdampak negatif selama memenuhi aturan tertentu dan tidak mengorbankan hak masyarakat kecil serta merusak lingkungan.

Masyarakat juga perlu dilibatkan dan diajak berdialog untuk meminimalkan terjadinya konflik horizontal.

Lalu, untuk pemerintah daerah dan pengusaha, bisa belajar tentang apa itu pembangunan dan ekonomi berkelanjutan. Biar tidak cuma berpikir soal cuan, tapi juga kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Ini memang susah dan investasinya juga mahal kalau benar-benar mau diterapkan. Tapi untuk jangka panjang, hal ini akan sangat bermanfaat, entah itu dari aspek lingkungan, sosial bahkan ekonomi. Dengan demikian, keuntungan bisa dinikmati lebih banyak pihak, termasuk pengusaha dan pemerintah.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah, mau belajar dan berbenah, atau bersikap tak acuh dan menuai musibah yang lebih besar?

Referensi : 1, 2, 3, 4, 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun