Apa pendapat Anda tentang seseorang yang perfeksionis? Ribet? Menyusahkan diri dan orang lain? Semuanya harus tampak sempurna dan nol kesalahan?Â
Perfeksionisme (perfectionism) berasal dari kata "perfect" yang dalam bahasa Inggris berarti sempurna, maka perfeksionisme dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna, entah itu dari aspek fisik atau materi maupun non materi.Â
Orang yang menganut perfeksionisme ini dinamakan perfeksionis.Â
Sesuai dengan definisinya, orang yang perfeksionis selalu mendambakan kesempurnaan dalam segala hal sehingga ia mempunyai standar yang terlampau tinggi, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. https://nakita.grid.id/
Ketika ada kesalahan atau mengalami kegagalan, orang yang perfeksionis sering mengkritik diri maupun orang lain secara berlebihan.Â
Ada banyak riset yang menyatakan bahwa perfeksionisme bisa berpengaruh negatif bagi kesehatan fisik dan mental. Orang yang perfeksionis dikatakan lebih rentan terserang depresi, gangguan kecemasan bahkan kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.Â
Sebagaimana yang pernah dilansir dalam jurnal Archives of Suicide Research pada tahun 2013 menunjukkan lebih dari 70% anak muda meninggal akibat bunuh diri karena kebiasaan menciptakan ekspektasi terlalu tinggi pada diri mereka sendiri.Â
Penelitian lain yang diungkap dalam jurnal Roeper Review tahun 2018 menjelaskan bahwa perfeksionisme dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, seperti jantung koroner, stroke dan lain-lain.Â
Ada pun riset yang dilakukan oleh seorang penulis dan profesor riset dari University of Houston Graduate College of Social Work, Amerika Serikat, Dr. Brene Brown, menyatakan bahwa orang yang perfeksionis tidak sama dengan orang yang berusaha untuk menjadi yang terbaik.Â
Ia juga mengungkapkan bahwa perfeksionisme justru digunakan oleh banyak orang sebagai perisai untuk melindungi diri dari rasa malu, disalahkan, dan dihakimi.Â
Mengapa Seseorang Bisa Menjadi Perfeksionis?Â
Perfeksionisme bisa timbul karena faktor internal, seperti keinginan untuk menghindari kegagalan atau penilaian negatif, maupun faktor eskternal, seperti persaingan di dunia akademis atau kerja, tekanan sosial, dan sebagainya.Â
Media sosial pun kini ditengarai sebagai penyebab generasi muda menjadi lebih perfeksionis dibanding generasi yang lebih tua.Â
Postingan-postingan tentang definisi kesuksesan dan hidup ideal yang kerap mereka lihat, secara tidak langsung memicu mereka untuk mengamini hal tersebut. Artinya, kalau hidupnya tidak seperti yang biasa ditampilkan orang-orang di media sosial, berarti hidupnya tidak sempurna. Tidak ideal.Â
Lalu, sebenarnya, kenapa sih orang bisa jadi perfeksionis?Â
1. Mereka menganggap bahwa kesempurnaan adalah cara untuk mendapatkan cinta dan penghargaanÂ
Nobody is perfectÂ
Manusia itu mau secakep, sepintar, sekaya, dan sebaik apapun pasti tetap ada kurangnya. Kalau Anda melihat ada seseorang yang kelihatannya seperti tidak punya kekurangan (udah cakep, pintar, berbakat, kaya, baik pula), bisa jadi ia adalah orang yang pintar menutupi kelemahannya sehingga terlihat "tanpa cela".Â
Jika Anda ingin dicintai dan dihargai, cara terbaik adalah dengan menjadi diri sendiri. Tidak perlu menjadi sempurna karena itu mustahil Anda lakukan. Cukup jadi versi terbaik dan terkeren menurut Anda saja.Â
2. Latar belakang keluarga yang mudah mengkritik setiap kesalahan dan kegagalan
Anak yang dibesarkan oleh orangtua yang kelewat ambisius dan perfeksionis biasanya selalu didorong untuk harus selalu mampu melakukan dan mencapai banyak hal. Tidak peduli apakah si anak suka atau tidak.
Harus selalu ranking 1 di sekolah, harus bisa semua mata pelajaran, harus ikut beragam les, dan ketika ada salah satu atau dua yang gagal dicapai oleh si anak, orangtua langsung menyalahkan dan mengkritik berlebihan. Seolah-olah kesalahan dan kegagalan adalah dosa besar.Â
Hal ini dapat menyebabkan anak tumbuh menjadi pribadi yang perfeksionis di kemudian hari.Â
3. Mengalami masalah kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan atau gangguan obsesif kompulsif (OCD)Â
Meskipun terdapat korelasi antara OCD dengan perfeksionisme, namun orang yang perfeksionis belum tentu penderita OCD, begitu pula sebaliknya.Â
Perbedaan antara pengidap OCD dengan orang yang perfeksionis adalah pengidap OCD suka mengecek sesuatu berulang-ulang, menempatkan atau mengatur barang sesuai urutan tertentu untuk mengurangi kecemasan. Namun, tindakan yang mereka lakukan ini kadang tidak berhubungan dengan ketakutan atau kecemasan yang mereka coba atasi.Â
Sementara orang yang perfeksionis kemungkinan juga melakukan hal yang sama namun mereka melakukannya bukan karena kecemasan. Orang yang perfeksionis justru merasa puas dan bangga karena dapat melakukannya dengan rutin dan teratur.Â
Apakah Perfeksionisme Itu Buruk?
Kalau Anda baca dari paragraf awal, perfeksionisme terlihat buruk dan membahayakan. Benarkah menjadi perfeksionis seburuk itu?Â
Pada dasarnya, perfeksionisme dibagi menjadi dua tipe, yaitu perfeksionisme adaptif dan perfeksionisme maladaptif.Â
Perfeksionisme adaptif merupakan jenis perfeksionisme yang sehat dan terarah. Mereka memiliki standar yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain, namun masih bisa mentolerir kesalahan dan kegagalan.Â
Kesalahan dan kegagalan tetap membuat mereka sedih dan kecewa, namun mereka tidak bereaksi berlebihan dan lebih cepat bangkit dari kesedihan dan keterpurukan.Â
Seseorang dengan perfeksionisme adaptif adalah pribadi yang teliti dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Mereka mampu memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk melakukan yang terbaik.Â
Hal inilah yang menyebabkan mereka lebih sehat secara psikologis dan memiliki prestasi yang lebih baik di sekolah maupun di tempat kerja.Â
Sebaliknya, perfeksionisme maladaptif adalah perfeksionisme yang berdampak negatif dan tidak sehat. Perfeksionis tipe ini cenderung bereaksi berlebihan terhadap kesalahan dan kegagalan di masa lalu.Â
Akibatnya, mereka selalu merasa inferior, insecure, membandingkan diri dengan orang lain, takut melakukan suatu hal, takut gagal dan takut terhadap penolakan.Â
Mereka juga selalu merasa kurang atau tidak pernah puas dengan apa yang sudah mereka lakukan. Perilaku inilah yang dapat menyebabkan seseorang mengalami masalah kesehatan mental, termasuk depresi, gangguan makan, insomnia, hingga OCD.Â
Tips Menjadi Perfeksionis Adaptif
Menjadi perfeksionis tidak selalu buruk asalkan bukan perfeksionis maladaptif. Lalu, bagaimana caranya menjadi perfeksionis adaptif agar kita dapat mengurangi dampak negatif dari perfeksionisme itu sendiri? Â
1. Belajar menerima kegagalan dan memaafkannya
Terima dan maafkanlah kegagalan sebagai bagian dari perjalanan hidup.Â
Semua orang pernah mengalaminya. Sedih, marah dan kecewa karena kegagalan itu wajar. Yang penting kita tidak lupa untuk introspeksi diri, mencari tahu penyebab kegagalan tersebut dan menjadikannya pelajaran agar lebih baik lagi di kemudian hari.Â
2. Tetapkan target yang realistis
Target yang realistis adalah target yang tidak terlalu mudah namun juga tidak terlalu sulit untuk dicapai.Â
Target yang terlalu mudah akan menjadikan Anda malas dan tidak bersemangat. Sementara target yang terlalu sulit bisa membuat Anda stres.Â
Punya standar tinggi terhadap suatu hal itu boleh, asalkan masih dalam batas-batas wajar dan dapat dicapai dengan sumber daya yang Anda miliki (kemampuan, pengetahuan, harta, waktu, tenaga dan sebagainya).Â
3. Jangan mengkritik diri sendiri dan orang lain secara berlebihan
Anda boleh saja merasa sedih, marah dan kecewa saat gagal. Anda juga boleh mengkritik diri Anda atau orang lain untuk dijadikan pelajaran.Â
Tapi, jangan pernah mengkritik berlebihan apalagi disertai kata-kata negatif, seperti "bodoh", "payah", "tidak berguna" dan lain-lain,. Kritik berlebihan disertai kata-kata negatif justru membuat Anda atau orang lain semakin rapuh dan terus-menerus menyalahkan dirinya.Â
Imbangi dengan memberi kata-kata yang menenangkan atau memotivasi agar Anda merasa lebih baik.
4. Lakukan sesuatu yang Anda inginkan tanpa terlalu banyak berpikir (overthinking)
Salah satu ciri perfeksionis maladaptif adalah takut salah dan takut gagal. Ia selalu merasa ragu dengan apa yang dilakukan sehingga malah tidak melakukan apa-apa.Â
Takut dan khawatir itu wajar. Apalagi jika hal tersebut adalah sesuatu yang baru dan belum pernah Anda lakukan sebelumnya.Â
Anda pasti akan mempertimbangkan risiko sekaligus plus minusnya. Dan itu juga baik bahkan harus dilakukan.Â
Tapi, kalau Anda terlalu takut dan khawatir sampai tidak berani mencoba, berapa banyak kesempatan yang sudah Anda buang?Â
Kalau pun masih belum baik atau gagal, Anda masih punya kesempatan untuk memperbaikinya bukan?
5. Beri self reward atas pencapaian-pencapaian atau hasil kerja keras AndaÂ
Self reward tidak melulu untuk pencapaian-pencapaian yang 'wah' saja. Pencapaian-pencapaian kecil pun tetap layak untuk diapresiasi.Â
Self reward juga tidak perlu mewah dan mahal. Beri hadiah pada diri Anda semampunya. Memberi pujian secukupnya atas pencapaian atau hasil kerja keras Anda pun sudah termasuk self reward.Â
Diri Anda itu berharga. Jadi, Anda harus bisa menghargai diri sendiri. Jangan melulu menunggu orang lain memuji Anda baru Anda merasa berharga.Â
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H