Pada tahun 1970-an, di Amerika Serikat terdapat thrift shop pertama yang bernama Buffalo Exchange. Buffalo Exchange tercatat memiliki 49 gerai di berbagai cabang di Amerika Serikat. Disini pengunjung dapat melakukan berbagai transaksi, seperti membeli, menukar atau menjual barang bekas.
Thrifting style juga banyak digandrungi oleh anak-anak muda pada tahun 1990-an, dimana Kurt Cobain, musisi dan pentolan grup band Nirvana, menjadi role model fesyen ini. Gaya khasnya dengan jeans bolong-bolong (ripped jeans), flannel shirt dan layering yang cukup banyak, membuat banyak anak muda mengikuti gaya berpakaiannya. Karena pakaian-pakaian seperti itu tidak ditemukan di retail shop, akhirnya mereka membelinya di thrift shop.Â
Industri Tekstil dan Pencemaran Lingkungan
Pakaian merupakan salah satu dari kebutuhan primer selain makanan (pangan) dan rumah (papan) sehingga textile and clothing waste tidak dapat dihindarkan. Industri tersebut memang memiliki serapan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Tapi di sisi lain, industri ini juga banyak menyumbang sampah atau limbah yang mencemari lingkungan.Â
Riset dari Ellen MacArthur Foundation yang berjudul A New Textiles Economy : Redesigning fashion's future, Â menunjukkan bahwa setiap tahun industri tekstil menghasilkan 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca. Jumlah ini lebih besar dibanding gabungan semua penerbangan dan pelayaran internasional.Â
Industri tekstil sebagian besar masih bergantung pada sumber daya tidak terbarukan (non- renewable resources), seperti minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk kimia untuk menyuburkan tanaman kapas dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses pewarnaan. Jika ditotal jumlahnya mencapai 98 juta ton per tahun.Â
Limbah produksi tekstil yang mengandung berbagai macam bahan kimia ini merupakan penyumbang polutan yang cukup besar bagi perairan, seperti sungai dan laut. Tercatat sebesar 20% pencemaran laut berasal dari cairan limbah produksi tekstil, seperti mikrofiber.Â
Di dalam negeri, industri tekstil juga punya cerita kelam. Sungai Citarum, sungai terpanjang dan terbesar di Jawa Barat yang dulu pernah menjadi titik awal peradaban Sunda, sejak tahun 2007 justru menjadi sungai terkotor di dunia.Â
Salah satu penyebabnya tidak lain adalah pabrik-pabrik yang gemar membuang limbahnya ke sungai. Mengutip dari artikel yang dirilis oleh CNBC Indonesia, sebanyak 349.000 ribu ton limbah cair indutri dibuang ke Sungai Citarum setiap harinya. Limbah tersebut berasal dari 1.900 pabrik yang beroperasi di sepanjang DAS Citarum dan hanya 10% dari pabrik tersebut yang memiliki IPAL memadai.Â
Memang, pabrik-pabrik yang tidak menggunakan IPAL dapat menekan biaya operasional sebanyak Rp 200 juta-Rp 300 juta per bulan. Tapi, haruskah kita mengorbankan kelestarian lingkungan hanya demi keuntungan materi semata?Â