Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bahasa Ngeblog: Santuy Boleh, Alay Jangan

14 Oktober 2020   10:39 Diperbarui: 14 Oktober 2020   11:02 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Bulan Oktober, yang bertepatan dengan Bulan Bahasa, Kompasiana mengajak Kompasianer untuk menuliskan pengalaman atau opininya tentang bahasa ngeblog. 

Beberapa pihak mengungkapkan kekhawatirannya akan nasib bahasa Indonesia yang rawan dirusak dengan hadirnya bahasa ngeblog yang biasanya berisi bahasa gaul atau bahasa gado-gado (biasanya campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris atau disebut juga dengan Indonglish). 

Padahal beberapa kata dalam bahasa asing tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Namun kebanyakan orang merasa lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing karena dirasa lebih keren dan intelek. 

Tulisan-tulisan yang jauh dari kaidah kebahasaan sehingga tampak berantakan, menimbulkan kekhawatiran apakah bahasa Indonesia masih diminati oleh kaum muda atau tidak. 

Milenial dan Bahasa Gado-Gado

Sebenarnya fenomena mencampuradukkan bahasa tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Dulu, ketika Indonesia masih dibawah pendudukan Belanda, generasi muda pribumi yang beruntung bisa mengenyam pendidikan juga kerap mencampuradukkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menandai identitas mereka sebagai kaum berpendidikan. 

Sedangkan di masa sekarang, ada fenomena berbahasa di kalangan anak muda yang cukup unik dan ramai diperbincangkan, yaitu fenomena bahasa anak Jaksel. Bahasa anak Jaksel yang menggunakan campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris ini identik dengan kata-kata seperti, "literally, which is, basically, confuse, even, to be honest, prefer, usually, sceptical" dan sebagainya. 

Menurut Ivan Lanin, Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia, fenomena bahasa gado-gado ala anak Jaksel ini dalam istilah linguistik disebut code mixing. Code mixing sendiri diperlukan ketika seseorang sedang belajar bahasa asing. Karena orang yang belajar bahasa asing sebagai bahasa kedua, ketiga dan seterusnya, memang biasanya masih sering terpengaruh dengan bahasa pertamanya dimana pengaruh bahasa pertama ini lebih kuat. 

Misalnya, orang Indonesia yang belajar bahasa Inggris, ia mengatakan "I want to makan" alih-alih "I want to eat" karena ia belum tahu atau lupa bahwa bahasa Inggris dari makan adalah eat. Atau bule-bule yang sedang belajar bahasa Indonesia, mereka tentu tidak akan langsung fasih berbahasa Indonesia. Ada kalanya mereka juga masih mencampuradukkan antara bahasa pertamanya dengan bahasa Indonesia ketika mereka tidak tahu artinya dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, code mixing diperbolehkan. Karena tujuannya adalah untuk belajar. 

Namun, code mixing bisa jadi merusak jika dilakukan terus-menerus secara sengaja padahal sudah tahu padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, sudah tahu bahasa Indonesianya meeting adalah rapat. Tapi masih juga lebih memilih kata meeting dibandingkan rapat. 

Kalau dibiarkan, hal ini bukan hanya berpotensi menggerus bahasa Indonesia itu sendiri. Tapi juga menunjukkan ketidakberaturan pikiran karena tidak mampu membedakan suatu kosakata itu milik bahasa apa. 

Bisa kacau kalau hal ini sampai terbawa dalam ranah yang lebih formal, termasuk dunia kepenulisan. Nggak lucu banget kan, kalau ntar nulis skripsi atau essai akademik terus nyempil kata-kata "which is ,literally, even dan kata-kata keminggris lainnya" padahal tulisannya disuruh menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? 

Bahasa Ngeblog 

Bahasa ngeblog berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika menulis di media-media yang lebih formal, seperti media cetak. Walaupun artikel yang kita tulis adalah artikel bertema serius, seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, kalau diposting di blog, kita tidak perlu menggunakan bahasa baku dan menggunakan berbagai istilah ilmiah yang njelimet-njelimet. Karena pembaca blog itu bisa jadi dari beragam latar belakang usia, pendidikan, pekerjaan, status sosial dan sebagainya. Kalau kita pakai bahasa baku dan istilah-istilah ilmiah yang sukar dipahami, orang mau baca malah jadi ngantuk. 

Berbeda halnya kalau kita menulis untuk media-media yang lebih formal atau untuk tujuan akademik (writing for an academic purpose), misalnya, penggunaan EYD, PUEBI dan sebagainya, memang wajib diperhatikan dan dijalankan. 

Lalu, boleh nggak sih kita ngeblog pakai bahasa gaul?

Hmm...

Sebenarnya bahasa gaul, bahasa ngeblog, bahasa sosmed, bahasa gado-gado atau apapun namanya, bisa jadi semacam identitas mereka sebagai anak muda. Ya, namanya anak muda, pasti ada kecenderungan untuk 'menandai identitas' mereka agar terlihat berbeda dengan generasi-generasi yang lebih senior. Semacam penegasan bahwa "ini identitas gue, dunia gue, gaya gue". Begitu kira-kira yang ada di benak mereka. 

Tapi, kita juga harus ingat bahwa bahasa ngeblog itu masuk ranah bahasa tulis bukan bahasa lisan. Jadi, tetap ada aturan-aturan yang harus dipatuhi agar tidak tampak seperti "bahasa lisan yang dituliskan".

Minimal para blogger milenial dan generasi Z tahu penggunaan huruf kapital, tanda baca, kata depan dan awalan, huruf yang dicetak miring dalam sebuah tulisan. Lalu, jangan pakai bahasa chatting yang disingkat-singkat apalagi pakai huruf besar-kecil atau huruf kapital semua (capslock jebol). Itu mendzolimi pembaca karena bikin sakit mata. 

Nggak masalah juga kalau mau menyelipkan bahasa gaul atau istilah-istilah yang sedang tren (trend words), barang satu dua kata. Namun jangan lupa untuk memberi keterangan atau penjelasan, entah mau dibuat dalam kurung atau diberi catatan di akhir artikel. Karena pembaca blog berasal dari berbagai latar belakang usia, nggak semuanya mengerti bahasa gaul atau istilah-istilah kekinian dikalangan anak muda sekarang. Jadi, jangan bikin pembaca bingung. 

Nah, kalau untuk bahasa gado-gado yang merupakan campuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, saya nggak akan komentar panjang-panjang di artikel ini. Tapi, saya lebih suka baca tulisan yang kalau pakai bahasa Indonesia ya mending bahasa Indonesia aja semua nggak usah sok keminggris. Santuy oke, baku oke, alay jangan. Yang penting tahu tempat dan aturan. 

Kalau memang ingin terlihat lebih keren dan intelek dengan berbahasa Inggris, kenapa nggak sekalian aja tulis artikel berbahasa Inggris lengkap dengan grammar yang baik dan benar, daripada campur aduk nggak karuan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun