Penderita gangguan mental sering kali butuh beberapa kali konsultasi agar psikolog atau psikiater mengetahui dengan jelas penyebab penyakitnya dan perkembangan kondisi pasien. Belum lagi kalau pasien mengalami ketidakcocokan dengan psikolog atau psikiater yang menangani pengobatannya. Mereka akan melakukan terapi tambahan ke psikolog atau psikiater lain.Â
Kedua, kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan mental.Â
Berdasarkan informasi yang dirilis oleh tirto.id, Indonesia hanya memiliki 600-800 psikiater dan 1.700 psikolog klinis. Dengan kata lain, perbandingan antara jumlah psikiater dan pasien mencapai 1 : 300.000-400.000. Artinya, 1 psikiater menangani sekitar 300.000-400.000 pasien. Persebaran psikiater dan psikolog ini pun masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta.Â
Ketersediaan rumah sakit jiwa di Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa. Lebih dari separuhnya terpusat di empat provinsi dari total 34 provinsi dan sebanyak 8 provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa, yaitu Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTT, Maluku Utara dan Papua Barat.Â
Ketiga, adanya stigma atau cap "orang gila" yang disematkan pada penderita gangguan mental.Â
Keterbatasan pengetahuan dan informasi mengenai penyakit mental sering menyebabkan orang dengan mudahnya melabeli seseorang "gila". Padahal penyakit mental itu ada banyak macamnya. Hal inilah pula yang menyebabkan orang yang jelas-jelas punya masalah kejiwaan merasa malu untuk datang ke psikolog atau psikiater karena akan dianggap "orang gila" oleh lingkungan. Padahal ada juga lho orang yang datang ke psikolog bukan karena lagi mengalami masalah, melainkan untuk konsultasi pengembangan diri.Â
Agama dan Penyakit Mental
Stigma negatif lain yang sering dialamatkan pada penderita penyakit mental adalah kurangnya iman. Jadi, orang-orang yang mengidap penyakit mental sering dianggap jarang beribadah, tidak bersyukur dan jauh dari agama serta Tuhan. Stigma ini seolah-olah menyudutkan mereka bahwa mengidap penyakit mental berarti banyak dosa.
Sebenarnya telah banyak penelitian ilmiah yang mengkaji hubungan antara kesehatan mental dengan religiusitas (berlaku untuk semua agama). Kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa orang-orang yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Religiusitas disini dinilai dari keterlibatan seseorang dalam praktik-praktik keberagamaan, seperti menjalankan ritual ibadah, seberapa penting peran agama dalam hidupnya dan motif yang mendorongnya untuk menjalankan ritual-ritual keagamaan.Â
Namun, hal ini sering disalahpahami bahwa orang beriman tidak butuh bantuan tenaga kesehatan mental karena lebih baik mengadu pada Tuhan jika punya masalah. Mengadu atau curhat pada manusia menandakan orang tersebut tidak percaya akan pertolongan Tuhan. Benarkah demikian?Â