Pada perkembangannya, kegemaran ini bergeser dari yang semula berupa penghukuman secara fisik menjadi kehendak untuk mengoreksi tindakan seseorang, termasuk di dunia maya.Â
Mereka yang Menjadi Korban Online Shaming
Online shaming memang kerap menimpa orang-orang yang "problematik" karena tindakan, ucapan atau postingannya yang terbilang kontroversial, provokatif dan bikin orang darah tinggi.Â
Selain itu, online shaming juga bisa dialami oleh orang-orang yang memiliki "kekurangan fisik" (yang secara visual dianggap kurang menarik) atau yang tingkahnya suka dianggap aneh oleh kebanyakan orang.Â
Misalnya, Andika Mahesa eks vokalis Kangen Band yang fotonya sering dijadikan meme dan olok-olok oleh warganet karena hubungan asmaranya dengan beberapa wanita cantik.Â
Seolah-olah perempuan cantik harus berpasangan dengan laki-laki ganteng dan begitu pula sebaliknya. Kalau ada perempuan cantik jatuh cinta pada laki-laki yang kurang ganteng atau sebaliknya, pasti selalu ada anggapan bahwa orang tersebut main dukun. Padahal benar atau tidaknya, kita tidak bisa membuktikan.Â
Orang-orang kritis pun ternyata tidak luput juga dari sasaran online shaming. Jujur, saya suka bertanya-tanya, apakah warganet +62 ini memang alergi orang kritis atau gimana. Karena setiap ada orang yang berkomentar kritis tentang suatu hal, ada saja orang-orang yang mengolok-olok dengan nama binatang, menghina agama atau suku dan melabeli orang dengan julukan-julukan tertentu (cebong vs kampret, kadrun, kafir dan sebagainya).Â
Sejauh Manakah Online Shaming Bisa Diterima Sebagai Sanksi Sosial?Â
Hal ini sudah sempat saya singgung sedikit di artikel sebelumnya dan akan saya tambahkan beberapa poin di artikel ini.Â
Online shaming bisa berakibat baik dalam batas-batas tertentu. Jadi, ada online shaming yang bersifat konstruktif dan destruktif. Beberapa contoh online shaming yang bersifat konstruktif adalah sebagai berikut.Â