Komentar-komentar menarik dari Kompasianer di artikel saya yang berjudul Online Shaming, Memberi Efek Jera atau Sekadar Melampiaskan Amarah?, rupanya menginspirasi saya untuk menulis artikel lanjutan tentang online shaming. Misalnya, komentar menarik dari Kompasianer, Mas Deddy Husein Suryanto berikut ini.Â
Atau komentar dari Kompasianer, Pak Sutrisno S Parasian Panjaitan berikut ini.Â
Jadi, dari mana sih asal mula adanya online shaming? Siapa saja kah korban online shaming? Sejauh manakah online shaming bisa diterima sebagai sanksi sosial? Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk terhindar dari risiko online shaming?Â
Kecenderungan untuk Mempermalukan Orang Lain
Online shaming sendiri adalah suatu tindakan mempermalukan orang lain yang dilakukan dengan cara menghina, menguntit atau menyebarkan ancaman kepada si korban.Â
Online shaming bisa muncul akibat ucapan-ucapan, tindakan atau unggahan-unggahan seseorang di media sosial. Lalu, mengapa ada orang yang senang mempermalukan orang lain, terutama di dunia maya?Â
Jauh sebelum dunia mengenal internet dan sosial media, keinginan manusia untuk mempermalukan orang lain sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Salah satu praktik shaming di dunia nyata pada masa lampau adalah penyaliban para pelaku kriminal yang dilakukan oleh masyarakat Yahudi.Â
Foucault, dalam bukunya yang berjudul Disiplin Tubuh, memaparkan pemikirannya mengenai praktik shaming setelah mengamati kegemaran masyarakat Perancis menonton penyiksaan yang kejam pada abad 17 hingga awal abad 18.Â